Rintik hujan menemani perjalananku kali ini. Dari dalam bus AC yang kutumpangi ini, aku bisa melihat tetes demi tetes air di luar sana.
Guratan-guratan air membekas di jendela sampingku. Meninggalkan alur air yang tak pernah dapat diduga. Dari ujung berbeda, tiba-tiba saja mereka dapat menyatu dan bermuara di guratan yang sama.
Seperti itulah kita. Itulah yang kupikirkan. Kau dan aku tak berasal dari alur yang sama namun kita memiliki muara yang sama. Cinta.
Yah… Cinta. Kau katakan itu padaku saat itu dan aku masih ingat sesaat setelah kau gapai surgawimu, kau ucapkan di telingaku ‘I love you’ dan kau membawaku ke surgawiku kedua saat itu juga. Dan aku pun memelukmu erat.
Namun, entah apa yang terjadi.. Keindahan itu hilang. Benar-benar hilang.
‘Untuk apa kau lakukan itu? Apa maksudmu memberitahukan dia tentang kita?’ Teriakmu. Apa salahku dengan jujur kepada dia pikirku.
Itu pertemuan terakhir kita. Kau tak terima diriku mengatakan apa yang terjadi antara kita kepada dia – kekasih resmimu. Tapi tahukah kamu, bagaimana rasaku?
Ah.. Kuhelakan nafasku. Mungkin aku memang sudah harus melupakanmu. Melupakan setiap detik yang kita lewati bersama. Ciumanmu di bibirku ini, leherku, dadaku. Sentuhanmu yang lembut setiap kau sedang ingin dan tak mendapatkannya dari kekasihmu itu.
Saat-saat yang kita habiskan bersama di ranjang-ranjang hotel itu, kostmu, kostku. Saat-saat yang kita jalani saat menikmati club malam itu. Saat-saat di mana sang kekasih hatimu tak mampu menemanimu.
Tapi…
Kau memarahiku. Mencaciku. Membentakku. Bahkan bekas tamparanmu di pipi masih berasa hingga saat ini, hanya karena kau tak ingin kekasihmu tahu tentang kita. Sahabatnya dan kekasihnya menikmati waktu berdua di belakangnya.
Biarkanlah bus ini membawaku. Dan hujan ini menemaniku ke dunia yang baru bagiku. Tanpamu. Alur air kita tak seharusnya pernah menyatu, seperti sekarang, mereka kembali terpisahkan.
Selamat tinggal kekasih hatiku.
Dari… Kekasih tak dianggap.