“Kamu ngapain, sih?”
Oke, itu reaksi pertama Mama saat pertama kali memandang betis kiriku. Ada seekor naga hitam di sana. Gimana ceritanya?
Semua berawal dari kesukaanku akan tato temporer. Waktu di kelas 3 SMA, iseng-iseng aku meminta ditato temporer di bawah telinga kiri saat di mal. Seniman tatonya saat itu memintaku memilih gambar-gambar yang akan dijadikan tato di tempat pilihanku.
Tadinya, aku mau memilih seekor naga. Sayang, ternyata naganya terlalu besar untuk bagian bawah telingaku. Kalau mau sih, di lengan atau betis. Namun, berhubung aku masih sekolah, aku tidak mau mengambil risiko di-DO menjelang kelulusan. Makanya, akhirnya aku memilih kalajengking hitam kecil, sesuai dengan zodiakku, Scorpio.
Memang nekat, tapi aku masih bisa menutupinya dengan menggerai rambutku dan menarik kerah seragamku selama di sekolah. Untunglah, tato kalajengking itu hanya bertahan dua minggu sebelum akhirnya menghilang.
Kenapa sih, bukan tato permanen saja? Beberapa teman yang cukup cuek bertanya. Selain takut kemungkinan terkena infeksi bila jarum tatonya tidak steril, aku juga mudah bosan. Selain itu, Mama bisa naik pitam kalau tahu aku pakai tato permanen.
-***-
Sejak itu, aku ketagihan tato temporer. Saat mulai masuk kuliah, aku meminta tato bergambar kucing hitam di lengan kiriku saat acara Valentine di kampus. Tidak ada alasan khusus sih, random aja. Sama seperti si kalajengking waktu SMA, kucing hitam di lengan kiri hanya bertahan selama dua minggu sebelum terhapus dengan sendirinya.
Tato temporer terbesar yang pernah kumiliki tentu saja…seekor naga hitam di betis kiriku. Ini juga tato terlama, karena sepertinya tanco atau entah tinta khusus apa yang digunakan lebih bermutu. Naga hitam ini kudapatkan saat bekerja part-time di kantin sekolah tempat mama dan tanteku bekerja.
Waktu itu juga ultah kota Jakarta dan kami berada di tengah-tengah Kemang Fair. Saat break, kuputuskan untuk berjalan-jalan sepanjang Kemang Raya, menikmati keramaian dan memandangi kios-kios di sepanjang sisi jalan.
Kios tato temporer itu langsung menarik minatku. Letaknya pas di depan toko karpet Persia. Senimannya seorang pemuda cekatan berwajah serius. Mumpung masih sepi, kuputuskan untuk ikut mengantri. Seniman tato menawarkan katalog gambar padaku untuk dilihat-lihat sebelum dipilih. Prosedur standar.
Begitu tiba giliranku, langsung kutunjuk gambar naga terbesar dan betis kiriku. (Sore itu, aku mengenakan kaos hijau lumut dan celana ketat selutut.) Setelah kuserahkan selembar 20 ribu, aku ikut duduk di atas permadani bersama si seniman dan meluruskan kaki kiriku.
Sebenarnya, aku orangnya rada gelian…jadi ajaib aku masih bisa menahan diri untuk tidak tertawa geli atau bergerak-gerak selama proses pentatoan si naga di betisku. Alat tatonya cukup tajam, namun tidak menyakitkan. Betisku langsung berubah ibarat kanvas. Kucoba mengatur napas sambil bersandar pada bangku di dekat kepalaku. Tanpa terasa, buntutnya aku malah jatuh tertidur…
-***-
“Mbak, udah jadi.”
Hah?? Aku terbangun. Kulihat betis kiriku dan terpukau. Aaah…indahnya. Tak terasa, dua jam berlalu. Sayang, waktu itu aku sedang tidak membawa kamera untuk mengabadikannya. Ponsel kamera saja belum ada, meskipun sudah ada ponsel.
Tak lama, aku kembali ke kantin sekolah…dan langsung mendapatkan hadiah berupa pelototan mama saat memandang betisku. Aku hanya nyengir pasrah. Toh, si naga akan menghilang setelah tiga minggu. Beliau hanya harus bersabar menunggu.
“Astaga, kamu membuang-buang dua puluh ribu hanya untuk itu.” Yah, beliau akhirnya hanya bisa menggerutu sambil lalu.
Keesokan harinya, teman-teman seangkatanku di kampus heboh. Aku ke kelas dengan celana kargo selutut sambil tersenyum bangga. Banyak yang bertanya, banyak juga yang geleng-geleng kepala.
Sayang, meskipun henna berkualitas bagus dan lebih tahan lama, belum tiga minggu aku mulai merasakan gatal-gatal pada betis kiriku. Ternyata, seminggu terakhir sebelum si naga menghilang total ditandai dengan reaksi alergi menyebalkan. Aku tak tahan dan ingin terus menggaruk. Sedikit demi sedikit, si naga mulai terkelupas. Ekor, cakar, badan, hingga taring dan wajah… berganti dengan bilur-bilur kemerahan yang sekilas mirip dengan sisik.
Yah, giliran betis kiriku yang mirip dengan betis naga!
Seminggu terakhir aku memilih memakai celana panjang ke kampus, karena penampakan kulitku mengerikan. Waktunya kebetulan tepat, karena ternyata kampusku mulai mengeluarkan himbauan agar mahasiswa yang bertato sebaiknya menutupi bagian tubuh mereka tersebut selama berada di lingkungan kampus…
Yah, cukup sekali aku bertato naga seumur hidupku. Gak lagi deh, kalo akhirnya malah jadi alergi begitu…