Pertama kali aku melihatmu adalah saat kamu sedang main ayunan sendirian di taman bermain satu sore itu. Kamu memakai gaun hitam, kaus kaki putih, dan sepatu hitam. Rambut ikal gelapmu dikepang. Wajah bundarmu tampak murung.
Saat melihatku mendekatimu, kamu mendadak berhenti berayun. Mata gelapmu melebar karena waspada. Kamu terlihat sangat hati-hati, bahkan meskipun aku berusaha menenangkanmu dengan senyumku. Aku sengaja berhenti agak jauh di hadapanmu, hanya untuk menunjukkan bahwa aku tidak bermaksud jahat.
“Hai,” aku menyapamu. Bagiku, kamu adalah salah satu gadis kecil paling manis yang pernah kulihat. Entah kenapa kamu tampak sedih saat itu.
“Hai,” balasmu malu-malu. Aku tidak tahu kamu akan menganggapku seperti apa – mengingat sosokku adalah anak laki-laki jangkung, cenderung kurus, dan dengan rambut gelap acak-acakan. Aku mengenakan pakaian yang seingatku selalu kupakai sejak entah kapan – kemeja putih biasa, celana panjang hitam, dan sepatu hitam tua. Semuanya kelihatan kotor dan aku tidak ingat kapan terakhir kali aku mandi.
Semoga kamu tidak jijik melihatku.
“Kok kamu sedih?” tanyaku padamu. Bibirmu manyun dan kamu tampak seperti akan menangis.
“Nenek meninggal,” katamu dengan suara bergetar. Hatiku sedih melihatmu begitu, jadi aku perlahan mendekat. Sepertinya kali ini kamu tidak tampak keberatan, jadi aku berlutut di depanmu. Bisa kulihat setetes air matamu jatuh, jadi kuusap dari pipimu. Kulihat kamu sedikit bergidik. Awalnya kamu tersenyum, sebelum kemudian cekikikan sedikit.
“Jari kamu dingin.”
Aku tersenyum. Aku senang. Itulah awal persahabatan kita.
-***-
Keesokan harinya, kita bertemu lagi di taman bermain yang sama dan di waktu yang sama. Daerah pinggiran kota ini memang selalu sepi, terutama sekitar sini. Ketika kutanya apakah kamu sekolah, kamu menjawab ya.
“Agak jauh sih, dari sini,” kamu menjelaskan. “Papa harus mengantarku ke tengah kota sebelum Papa ke kantor juga.”
“Oh.” Menyenangkan sekali. Aku sendiri nggak ingat di mana ayahku, tapi aku enggan memikirkan beliau sekarang. Aku tidak ingin terlihat sedih olehmu. Sepertinya aku tertarik olehmu. Aku suka bermain bersamamu. Kita suka saling berkejaran sambil tertawa-tawa. Aku suka mendorongmu saat kamu bermain ayunan.
Di waktu lain, kami hanya duduk dan mengobrol banyak hal. Sebenarnya sih, kamu yang lebih banyak bicara. Kamu bercerita tentang ayahmu, ibumu, kakak perempuanmu yang hobi nge-bos, adik laki-lakimu yang rewel. Kamu bercerita tentang kucing peliharaanmu yang kabur – dan seekor lagi mati tertabrak mobil. Ada lagi seekor kucing yang mati di garasi karena tanpa sengaja terlindas oleh ayahmu saat beliau hendak memarkir mobil.
Hatiku sedih lagi saat kamu menangis lagi.
“Kamu marah sama papamu?” tanyaku hati-hati. Kamu menggeleng.
“Enggak, karena Papa nggak sengaja. Itu hanya kecelakaan.”
“Terus nenekmu gimana?” tanyaku lagi. “Nenekmu kenapa?”
“Nenek meninggal saat tidur,” katamu padaku. “Aku rindu Nenek. Nenek dulu suka mendongeng.”
Betapa beruntungnya kamu. Andai saja aku ingat keluargaku…
-***-
Lalu, beberapa saat sesudahnya, hari-hari itu hilang. Kamu berhenti datang ke taman bermain. Aku kehilanganmu.
Hari-hariku sepi kembali. Aku bertanya-tanya soal kamu, ketika suatu saat kulihat kamu berjalan melewati taman bermain – bersama dua anak perempuan lain. Kamu sudah tumbuh lebih besar, lebih cantik, dan juga lebih bahagia. Senyummu tampak secerah matahari di angkasa saat tengah riang mengobrol dengan kedua temanmu. Kamu bahkan sama sekali tidak melirik ke taman bermain, yang berarti tidak melihatku tengah memandangimu dari jauh.
Seperti yang lainnya, kurasa kamu akhirnya sudah melupakanku. Bahkan meskipun masih ingat, mungkinkah kamu masih bisa melihatku? Ada yang pernah bilang, seiring bertambahnya usia, kemampuan melihat biasanya juga menghilang…
Kamu sudah berlalu, sementara aku berhenti tumbuh. Bagimu, aku hanyalah teman masa kecil di suatu saat lalu. Bagiku, kamu hanyalah salah satu dari gadis-gadis kecil yang akan kutemukan tengah bersedih di taman bermain yang sama itu.
Inilah taman bermain yang sama dengan tempatku dibunuh…bertahun-tahun lalu. Kurasa, jiwa-jiwa kesepian akan saling menemukan sesamanya, hingga saat salah satu tidak merasa kesepian lagi.
Kurasa inilah artinya menjadi sesosok hantu.
R.