Jalanan basah masih terlihat olehku dari sudut warung kopi ini. Di seberang sana sebuah toko dengan beragam kerajinan tangan tampak lengang pembeli. Kuambil lagi sepotong pisang goreng hangat yang dihidangkan pemilik warung.
Baru saja aku menggigit pisang goreng itu saat kulihat seorang lelaki tua berbaju biru yang lepek lewat. Dia menuntun sepeda ontel yang penuh dengan jerami kering. Dari jauh, wajahnya seperti sedang menyeringai. Bahagia sekali. Dan entah kenapa, aku jadi tertarik ingin memperhatikannya terus.
Lelaki tua itu berjalan lambat. Mungkin kelelahan, pikirku. Caping yang dipakainya masih meneteskan beberapa butiran air hujan. Sepertinya dia menerobos hujan gerimis tadi. Ah, tak ada salahnya aku menawarkan segelas kopi atau teh hangat kan? Aku pun berdiri keluar warung kopi, menyebrang jalan.
“Kek,… “ lelaki tua itu menghentikan langkahnya, menatapku kebingungan. “Kakek sepertinya lelah. Ayo… kita ke warung itu. istirahat dan ngupi sejenak.” Dia menatap warung yang kutunjuk. Diam sejenak dan kemudian menggelengkan kepalanya.
Lelaki tua itu hendak meneruskan langkahnya lagi, namun kutahan.
“Ayolah kek. Istirahat sebentar saja tak masalah kan? Saya yang bayar kok. Dan tenang saja, saya tidak ada maksud apa-apa. Hanya kasihan melihat kakek kelelahan dan juga kebasahan seperti itu.” aku mencoba membujuknya.
Lelaki tua itu memang kembali menghentikan langkahnya. Menatapku sejenak. Melempar senyuman dengan bibirnya yang sudah mulai kempot tanpa gigi. Namun aku kembali mendapatkan gelengan darinya.
“Tak apa anak muda. Terima kasih banyak atas tawaranmu. Tapi maaf tidak dapat saya terima.” Ujarnya.
Aku pun berusaha berpikir lagi untuk mengajaknya duduk. Aku yakin kisah lelaki tua ini banyak dan mengesankan. Aku ingin sekali mendengar kisah-kisahnya.
“Kakek tak usah khawatir kek. Saya hanya ingin membantu kakek melepaskan penat dan juga menghangatkan tubuh setelah gerimis tadi. Duduk sejenak hingga pakaian kakek kering agar kakek tak sakit.”
Lagi-lagi lelaki tua itu menggelengkan kepala. Dia menuntun ontelnya kembali dan melangkah.
“Kek, kalau kakek tak lelah, tak mungkin kakek menuntun sepeda kakek kan? Bannya tidak bocor. Jadi ayolah. Istirahat sebentar.”
Lelaki tua itu terdiam. Lalu dia menuntun mundur ontelnya mendekatiku.
“Bukan begitu anak muda. Saya berterima kasih banyak atas tawaranmu. Tapi saya tidak bisa. Saya…” dia diam sejenak menatapku lekat. “Saya takut kalau duduk, bisul saya di pantat akan pecah. Makanya saya menuntun sepeda ini dari tadi.”
Untuk MFF Prompt 65: Lelaki Tua di Tengah Gerimis
Hahaha…. Ini baru cerita… Terima kasih kocokan perutnya di akhir tulisan. Kreatif.
Thank you dah baca.
Uwopooooo ikiiii. Hahahahaha. Asik Mas! 🙂
Ikiii cerita doang mas.
ternyata…. bisulan 😀
hebat si kakek… bisa nahan rasa sakitnya bisul dan sempat2nya senyum
Demi mas. Demi kelangsungan hidup
itu kenapa ngupi,.. bahasa gaul ya 😆
Hehe. Tadi juga bingung nulisnya apa ya. Masukan dong.
ngopi mungkin 😀
Okay. Thanks ya.
Ryannnn ampun deh, aku sudah serius bacanya, simpati sama si kakek, ternyata hahaha bisulan kakenya 😀 .
Makasih mba dah baca.
Maaf ya dah bikin drop ngebacanya
Keren mas, inspiratif,,,gokil
Inspiratif gokil ya. Dapat istilah baru nih. Hahaha.
Thank you for reading.
hadewhhh, pake bisulan sgala! bhahaha
Iya nih mas. Ada obat gak.
wakakakakakakakakakaka…
Kocak benar 😀
wakakakakakkaakkakak..
udah ah nanti aku tertawa terus…
Gpp kok ketawa. Kan katanya tertawalah sebelum tertawa dilarang
Ha ha ha ha ha ha ha….
Duh. Kaget. Mba kenapa mba???
Ngakak mas.. 🙂
hahahaha…