Kami terdiam. Tak ada satupun yang bergerak atau bicara. Bahkan sempat kami berhenti bernafas sejenak.Diam dan mengamati. Itu yang kami lakukan. Apalagi yang dapat dilakukan oleh seseorang yang sudah kehabisan kata untuk diucap, kehilangan gairah untuk dipacu, selain diam dan mengamati.
Manis…
Itu kata pertama yang terlontar darinya saat dulu kutanyakan pendapatnya tentangku. Saat kami pertama kali bersua.
“Manis seperti gula yang digemari semut- semut, dan akulah salah satu semut itu. Manis yang memberi rasa berbeda pada setiap makanan dan minuman, layaknya hujan memberi makna setelah kemarau panjang, layaknya bunga di antara rimbunan alang-alang.” Ucapnya persis kala itu.
“Tapi…. Manis juga memberi bahaya bila terlalu banyak. Membuat terlena. Memabukkan layaknya vodka yang dituang di malam dingin berulang kali. Dan kau adalah gula dalam hidupku. Memberi manis kadang memabukkanku dalam cinta.” Semua kuingat kata per kata karena itu adalah ungkapan cinta pertama yang
kudapatkan dari seorang pria.
Dia yang pertama dan dia yang membekas.
***
Kini… Kami hanya mampu terdiam.
Sungguh ironi. Saat-saat pertama kami dipenuhi dengan beribu kata. Beribu gairah. Tapi kini…
“Hangat….” Ujarnya. “Kamu bilang aku hangat saat kutanyakan pendapatmu tentangku kan? Aku masih ingat itu. Hangat selayaknya mentari pagi yang mengintip malu di balik gunung. Tidak panas membara. Tidak juga terlalu dingin. Itu kata-kata persismu saat itu.”
Tiba-tiba saja dia mengatakannya di sela keheningan kami.
“Tapi… Menjelang siang…Hangatmu berkobar dalam gairah layaknya mentari menyinari bumi ini. Namun berbeda dengan mentari yang menghilang di malam hari, aku menjelma menjadi api dalam perapian yang memberi kenikmatan malam.” Lanjutnya. Kaget aku….
Karena dia memikirkan apa yang aku juga sedang aku pikirkan.
Beribu kesamaan membuat kami menyatu, kesamaan seperti saat ini – pikiran kami seakan menyatu dalam proses kerjanya. Beribu perbedaan menghangatkan hubungan kami dalam diskusi yang kadang tak berujung. Beribu kerinduan menyatukan kami dalam gairah bersama saat bersua.
Kini…
Kami hanya diam dan mengamati. Aku di sini…. Mengamati lalu lalang mobil di ibukota yang tak pernah tidur dan dia di sana mengamati keindahan laut di pulau dewata.
Kami hanya diam dan mengamati… Jalannya kehidupan cinta kami. Yang semakin lama semakin menipis, terkikis oleh jarak dan waktu. Kami menyadari… Jarak tak hanya memberi keheningan tapi kehilangan rasa yang kami pikir akan abadi.
Kami kehilangan cinta kami dalam jarak dan waktu.