Aku selalu bersyukur akan hujan. Banyak alasan untuk melakukannya.
Seperti waktu aku kecil. Aku suka menari-nari di bawah siraman hujan. Tidak peduli Mama marah atau aku akan masuk angin setelahnya. Terus kenapa? Aku hanya ingin menikmati masa kanak-kanakku. Masa itu adalah yang terindah, masa-masa kamu percaya bahwa kamu kuat dan tidak akan pernah terkalahkan.
Seakan-akan tidak ada yang bisa menyakitimu.
Aku selalu bersyukur akan hujan. Semakin dewasa, semakin banyak alasan untuk melakukan hal itu.
Sejujurnya, aku tidak terlalu rewel soal banjir. Salah siapa itu? Ayolah, kita semua sudah tahu. Tidak perlu saling tunjuk sana-sini. Sama saja, kok.
Apa lagi yang baru?
Oh, ya. Kamu putus denganku. Hatimu tidak lagi berada dalam hubungan ini, semua karena perempuan itu. Begitu saja. Mudah sekali.
Aku bersyukur akan tetesan hujan hari itu, kamuflase sempurna bagi tetes-tetes air mataku. Kamu takkan melihatku menangis. Kupastikan itu.
Baru saja aku punya satu alasan lagi untuk bersyukur akan hujan.
Kuingat ciuman pertama kita di bawah siraman hujan, namun aku tidak menciummu seperti itu malam itu. Tidak sudi, karena kamu telah membuatku merasa terlalu jijik padamu. Kamu telah menikam hatiku terlalu dalam – dan kurasa aku takkan pernah bisa sembuh.
Aku akan selalu mengingat ekspresi shock wajahmu malam itu, sebelum akhirnya kamu menyerah pada rasa sakit dari luka di dadamu. Aku tersenyum dan memberi ciuman perpisahan di pipimu sebelum berbalik dan pergi.
Untunglah jalanan sepi malam itu. Aku yakin mereka akan menemukanmu di pagi hari.
Aku juga bersyukur bahwa hujan cukup deras malam itu. Kenapa? Seperti yang kusebut barusan, hujan seperti ini selalu membuat jalanan sepi. Tidak ada yang keluar rumah. Aku menyembunyikan wajahku dengan tudung jaket.
Tidak hanya itu. Tak perlu waktu lama untukku saat membersihkan pisau ini dari darahmu. Makanya, sayangku, aku akan selalu bersyukur pada hujan…