Entah apa yang tengah merasuki Adrian malam itu. Gara-gara Darla memutuskannya begitu saja, cowok jangkung berambut ikal gelap itu langsung stres berat seketika. Dia manut saja ketika Ramon, troublemaker se-fakultas, mengajaknya clubbing bareng gengnya yang terkenal tak kalah ‘kacau’.
Nge-bir pun akhirnya dilakoni. (Padahal, biasanya boro-boro Adrian kepikiran. Sampai dibilang cupu sama cowok-cowok lain, karena dianggap terlalu baik.)
Sekarang Adrian menyesalinya. Tak hanya main ditinggal Ramon dan kawan-kawannya, tapi dia masih harus menyetir pulang. Seorang diri pula! Mana pengaruh alkohol masih belum hilang. Kepalanya masih pusing. Jalannya juga masih rada sempoyongan.
Pukul tiga pagi, Adrian membaca arlojinya. Minggu pagi. Mungkin jalanan sudah sepi.
Sambil mengabaikan akal sehatnya yang memang masih ‘mengabur’, Adrian pun menyetir mobil hitamnya pulang. Memang, jalanan masih lengang. Tak banyak kendaraan yang lalu-lalang.
Baru saja Adrian bernapas sedikit lega, ketika tiba-tiba sekelebat sosok melintas cepat di depan mobilnya. Sadar dia lupa menyalakan lampu depan, Adrian pun melakukannya. Sosok itu berhenti karena cahaya yang mendadak menyorotinya. Sama seperti Adrian, matanya membelalak kaget. Adrian pun mengerem mendadak, namun terlambat.
Buk!
Sosok itu terlempar keras. Jantung Adrian berdebar-debar. Aduh, gawat! Seharusnya tadi dia menunggu saja sampai pagi, sampai pengaruh alkoholnya benar-benar hilang. Dasar bodoh!
Sambil terus memaki-maki diri sendiri dalam hati, Adrian pun mematikan mesin mobil dan keluar. Sekujur tubuhnya langsung banjir keringat dingin saat melihat pemandangan mengerikan di depan mobilnya.
Pantas tadi tidak begitu kelihatan. Sosok itu begitu mungil. Seorang anak perempuan, yang tampaknya berusia sekitar lima atau enam tahun. Cahaya dari lampu depan mobil Adrian yang lupa ikut dimatikan menyoroti tubuhnya yang kini terkapar tak berdaya di jalanan beraspal. Tubuh yang mengejang, meregang nyawa. Mata gadis cilik itu melotot, sementara darah segar tak henti mengalir dari lubang hidung dan sela-sela mulutnya yang separuh terbuka – megap-megap mencari udara.
Astaga! Ngapain anak ini masih di luar pada jam segini? pikir Adrian panik. Dilihat dari pakaiannya yang tampak lusuh dan compang-camping, sepertinya dia anak gelandangan. Di tangannya ada boneka kain perca yang sama lusuhnya, dengan mata hitam besar yang sepertinya dibuat dari sejenis pewarna permanen.
Buru-buru Adrian masuk kembali ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian, sedan hitamnya mundur sebentar, lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Maklum, Adrian tidak hanya panik. Dia juga ketakutan setengah-mati.
“Cuma mimpi, cuma mimpi,” berulang kali dia meyakinkan dirinya. Untunglah rumah masih sepi saat dia akhirnya tiba. Orang tuanya masih dinas di luar negeri.
Tak banyak yang dilakukan Adrian. Dia memarkir mobilnya di luar garasi, lalu terhuyung-huyung masuk rumah. Dia bahkan tidak berhasil sampai di kamarnya sendiri. Masih memakai sepatu, Adrian langsung ambruk di sofa terdekat. Matanya terpejam karena masih merasa pusing.
“Cuma mimpi,” gumamnya berulang-ulang. “Salah lihat.”
Kalau ternyata bukan, itu cuma anak jalanan, sebuah pikiran jahat tiba-tiba menyelinap ke dalam benaknya. Bukan siapa-siapa. Tidak ada yang akan peduli. Dia aman.
Dengan pikiran menenangkan itu, Adrian pun terlelap.
— // —
“Dri, Mama udah transfer uang bulanan ke rekening kamu. Tinggal diambil. Dihemat-hemat ya, Nak.”
Adrian membaca SMS itu pada pukul sepuluh. Dia baru bangun. Untung segelas kopi hitam bias menghilangkan sakit kepala dan mualnya.
Untunglah, dia hanya punya satu kelas di kampus sore ini. Masih ada waktu bersantai-santai sedikit.
Untuk mengusir suasana sepi, Adrian menyalakan TV. Satu stasiun tengah menayangkan berita saat cowok itu tengah merebus mi instan untuk makan siang.
Saat makan siang, berita itu ada di TV:
“Telah ditemukan sesosok jenazah anak perempuan di daerah Depok. Korban yang berinisial AN, berusia enam tahun, diduga sebagai korban tabrak-lari. Hingga kini, polisi belum menemukan pelaku maupun saksi mata yang…”
Adrian melongo. Dia mengenali daerah itu. Meski jenazah anak itu dibikin blur di kamera, Adrian masih bisa mengenali boneka kain perca yang dibawa anak itu semalam. Ya, boneka dengan mata hitam dan besar dari pewarna.
Ya, Tuhan! Apa yang telah dia lakukan?
— // —
“Yan, lu lagi kenapa, sih? Tumben, diem banget.”
Ima, sahabat Adrian sejak SMA, tampak heran dan bingung. Sore itu, selepas kelas, keduanya berjalan beriringan di lorong kampus.
“Nggak apa-apa.” Adrian hanya lagi malas bicara. Banyak pikiran. Melihat dari ekor matanya, tampak Darla – mantan pacarnya – melewati mereka berdua sambil mengobrol dan bergelayut manja sama Nino. Tak ada yang memandangnya, padahal jelas-jelas mereka berpapasan. Kayak berlagak nggak kenal!
“Heh, lu dah putus ma Darla?” Aduh, celaka! Ima menyadari arah tatapannya. “Sejak kapan?”
“Kemarin.”
“Tuh, kan!” sembur Ima seketika, yang memang nggak pernah menyembunyikan rasa tidak sukanya pada Darla. Matanya berkilat-kilat marah. “Gue bilang juga apa. Darla tuh, matre. Nemu cowok yang bisa kasih lebih, yang lama pasti langsung ditinggal.”
“Ma, udahlah.” Adrian benar-benar lelah. Dia malas berdebat, meski sadar dia sudah salah dan kalah. Mengakuinya pada Ima? Ogah! Dia paling malas dicereweti, apalagi sama cewek.
Saat melewati gerombolan Ramon yang lagi asyik main gaple sambil merokok, entah kenapa Adrian merasa lega. Mereka tak mempedulikannya sedikit pun, sama seperti Darla tadi. Seolah-olah mereka nggak pernah ngajak Adrian nge-bir bareng.
Baguslah. Adrian juga tidak peduli. Biar saja. Kalau Ima sampai tahu juga soal itu, bisa makin ribut dia.
Malam itu, Adrian menemukan sesuatu yang janggal saat pulang. Kelar memarkir mobilnya di garasi, dia masuk lewat pintu depan. Di situlah dia menemukannya.
Boneka itu. Ya, boneka kain perca yang lusuh, dengan mata hitam dan besar. Boneka milik anak yang dia tabrak malam itu sekarang di atas keset, tepat di depan pintu rumahnya. Bagaimana mungkin?
Jantung Adrian berdebar keras. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya dengan deras. Meski begitu, dengan hati-hati dipungutnya boneka itu – seakan-akan bonekanya bisa hidup mendadak dan menggigit.
Tiba-tiba sebuah kemungkinan mengerikan melintas di benaknya. Dengan takut-takut Adrian melirik sekelilingnya.
Tidak ada siapa-siapa yang tampak mencurigakan. Keluarga Adrian tinggal di cluster, sebuah perumahan homogen, dimana mayoritas penghuninya bukan tipe yang saling akrab atau selalu usil – ingin tahu urusan tetangga.
Meski begitu, mungkin saja malam itu ada yang melihatnya. Lalu membuntutinya diam-diam sampai ke rumah dan…
“Masa, sih?” Adrian langsung membantah isi benaknya sendiri. Tidak, tidak mungkin. Pasti hanya kebetulan. Pasti hanya orang iseng yang lewat dan melemparkan benda ini ke rumahnya, entah kenapa.
Buru-buru Adrian masuk rumah. Malam itu juga, Adrian membakar boneka itu di halaman belakang rumahnya. Apa pun yang terjadi, dia tidak ingin melihatnya lagi.
— // —
Sayang, harapan itu tidak terkabul. Keesokan harinya, Adrian bangun dan menemukan boneka itu di tempat sampah halaman belakang rumahnya. Boneka bermata hitam dan besar yang sama, yang sudah dia bakar semalam.
Anehnya, boneka itu masih utuh. Tetap lusuh dengan mata hitam yang seolah-olah melototinya dengan sorot mata menuduh.
Adrian bergidik. Apa-apaan ini? Disentuhnya boneka itu sedikit, lalu buru-buru dia menarik tangannya kembali. Astaga, dia tidak sedang bermimpi!
Mungkinkah kejadian semalam yang hanya halusinasi? Masalahnya, Adrian merasa benar-benar telah membakar habis boneka itu. Semalam dia malah sampai batuk-batuk gara-gara asap yang tidak sengaja terhirup.
Hari itu, Adrian nyaris telat ke kampus. Dia harus menyingkirkan boneka sialan itu lagi. Kali ini, dia memotong boneka itu menjadi dua bagian, lalu membakarnya secara terpisah. Ya, persis cara membunuh vampir di serial “Twilight”. Memang konyol, sih.
— // —
“Menurut saya, ‘Tell-Tale Heart’ adalah karya Edgar Allen Poe yang paling fantastis,” kata Ima dalam diskusi sastra sore itu. “Kisah ini menekankan pentingnya nilai moral dan betapa hati nurani manusia selalu menjadi pengingat bahwa setiap orang harus selalu bertanggung-jawab atas segala perbuatannya.”
Dari bangku para mahasiswa, Adrian hanya membeku. Dia tahu cerita itu. Seorang pria membunuh pria bermata cacat hanya karena merasa ngeri setiap kali melihat mata cacatnya yang tampak membelalak bak burung nazar ketemu mangsa. Namun, entah kenapa, setelah menyembunyikan mayatnya, pria itu tak pernah bisa tenang. Kemana pun dia pergi, dimana pun dia berada – dia selalu mendengar suara itu. Detak jantung pria bermata cacat yang dia bunuh.
Suara itu baru hilang saat akhirnya pria itu mengakui perbuatannya pada polisi dan menunjukkan mayat pria bermata cacat.
Entah kenapa, akhir-akhir ini Adrian seperti melihat boneka itu dimana-mana. Di rumah, di kampus. Kalau memang ada yang melihatnya waktu dia menabrak anak itu, seharusnya orang itu sudah melapor polisi sekarang. Pastinya dia sudah ditangkap.
Kalau tidak, untuk apa orang itu menerornya dengan boneka yang sama? Tak ada kiriman untuknya yang bernada memeras. Hanya saja, sekarang Adrian makin was-was karena merasa selalu diawasi orang. Menyeramkan.
“Sumpah, elo makin lama makin aneh, Yan,” komentar Ima yang makin bingung dengan perubahan perilaku sahabatnya. “Lo lagi kenapa, sih? Dikit-dikit nengok-nengok ke belakang melulu, kayak orang parno. Lagi ada masalah?”
“Nggak,” bantah Adrian. Sore itu, keduanya lagi berada di toko buku, karena Ima lagi mau cari novel baru.
“Lagi dikejar utang? Atau dikejar setan?”
Adrian langsung melototi Ima. Malas berantem, sahabatnya buru-buru mundur sambil mengangkat kedua tangannya.
“Fine, have it your way, then,” gerutunya. “Gue mo ke bagian impor dulu.”
Sepeninggal Ima, Adrian mendesah penuh sesal. Sialan, seharusnya dia nggak perlu sekasar itu sama Ima! Masalahnya, dia juga nggak bisa cerita. Takut.
“Aduh!”
Adrian terperanjat. Lagi-lagi dia meleng karena bengong. Seorang anak perempuan mungil di depannya tertabrak tubuhnya yang menjulang hingga jatuh. Anak itu sekarang menangis.
“Maaf, Dik.” Adrian panik dan buru-buru berlutut untuk membantunya berdiri. Namun, saat anak itu mendongak dan balas menatap Adrian, tampak darah mengalir keluar dari lubang hidung dan sela-sela mulutnya. Matanya hitam dan besar, dengan sorot menuduh.
Adrian mundur dan langsung jatuh terduduk karena kaget dan ngeri. Tak lama kemudian, seorang perempuan muda tergopoh-gopoh menghampiri dan membantu anak itu berdiri.
“Kamu nggak apa-apa, Sayang?” tanyanya pada anak itu. Lalu ditatapnya Adrian dengan sengit, sebelum membentak, “Mas, liat-liat dong, kalo jalan! Untung anak saya nggak kenapa-kenapa.”
Adrian berkedip. Bukan, lagi-lagi dia salah lihat. Hanya anak perempuan biasa yang matanya basah. Tak ada darah. Cuma air mata.
Ada apa dengannya akhir-akhir ini?
— // —
“Liat-liat dong, kalo jalan!”
Malam itu, lagi-lagi Adrian tidak bisa tidur nyenyak. Suara perempuan itu terngiang-ngiang di telinganya, bercampur mimpi buruk tentang malam itu. Saat dia menabrak anak itu sampai tewas, lalu bonekanya…
Adrian terbangun sambil megap-megap. Keringat dingin lagi-lagi membanjiri sekujur tubuhnya dengan deras. Sambil duduk dan mengatur napas, dinyalakannya lampu meja di samping tempat tidurnya.
Oh, tidak!
Boneka itu sekarang ada di atas tempat tidurnya, pas dekat kakinya. Bagaimana bisa? Adrian selalu mengunci semua pintu dan jendela luar sebelum tidur. Tidak mungkin ada yang bisa masuk dan meninggalkan boneka itu di kamarnya.
Dengan ngeri Adrian menendang boneka itu sambil meloncat turun dari ranjang, lalu berlari keluar kamar. Namun, langkahnya terhenti saat melihat boneka yang sama di atas meja makan. Adrian berbalik. Boneka itu ternyata juga ada di atas meja telepon.
Boneka itu ada dimana-mana…
“Oke, cukup! Cukup!” jeritnya. “Gue akan ngaku sekarang!”
Setelah menyingkirkan boneka itu dari meja telepon, Adrian buru-buru menghubungi nomor wajib hafal sejuta umat:
“Kantor polisi, ada yang bisa kami bantu?”
— // —
“Tolong! Tolong singkirkan boneka itu!”
Kedua opsir polisi itu saling berpandangan dengan bingung. Cowok yang kini terborgol dan duduk di bangku belakang mobil patroli mereka terus meracau bak orang gila. Opsir yang lebih muda, dengan dagu tercukur rapi, telah mengecek seisi rumah Adrian dan kembali dengan laporan:
“Tidak ada boneka, Pak.”
-selesai-
(Jakarta,7-18/1/2012)