“Untuk Mama” oleh: Anna Natalia
Aku sayang Mama. Sayang sekali. Aku nggak mau durhaka dan hanya ingin Mama bahagia.
Mama nggak pernah marah kalo aku ketakutan sama sesuatu, apa pun itu. Sejak aku kecil, Mama selalu begitu. Sabar sekali. Seperti waktu ada geledek pas hujan. Aku menutup telinga dan Mama diam saja.
Tapi Papa suka marah-marah.
“Kamu cengeng dan penakut, kayak mama kamu,” bentak Papa waktu itu. Lalu, dengan seringai meremehkan, beliau berkata, “Sayang kamu bukan anak laki.”
Tangisku pecah. Mama langsung menegur Papa, “Bang, jangan gitu sama Anna.”
Papa hanya melengos pergi. Setelah memelukku agar tenang, Mama menyuruhku masuk kamar dan langsung tidur. Kata Mama, tutup kuping aja kalau di luar ada suara berisik. Biar aku nggak takut lagi dan bisa langsung tidur.
Aku menurut. Waktu itu, aku belum tahu…
-***-
Lama-lama aku berhenti menutup telinga dan mulai memberanikan diri untuk mendengar. Dari situlah aku tahu semuanya.
Mama dan Papa berantem terus, hampir tiap malam. Nggak tahu kenapa. Kadang ada barang yang pecah. Tapi, lebih banyak bentakan dan pukulan dari Papa. Mama hanya menangis.
Aku juga, cuma takut keluar kamar. Kadang kuharap ini cuma mimpi buruk. Tapi, masa setiap malam harus kayak begini, sih?
“Dasar istri tolol! Gak guna kawin ama kamu, tahu?!”
Papa, jangan. Kasihan Mama.
Papa jahat.
-***-
Anehnya, saat pagi tiba, semua kembali normal. Mama tampak cantik dan rapi seperti biasa, tersenyum padaku. Menyediakan sarapan untuk Papa dan aku, seakan semalam nggak ada apa-apa.
Ah, mungkin aku cuma mimpi. Mama juga mengantarku ke sekolah seperti biasa, lalu memeluk dan mencium jidatku sebelum aku lari ke kelas.
Tapi, lama-lama Mama nggak bisa bohong. Terutama saat Mama sering lupa dandan buat menutupi lebam di muka. Wajah Mama juga lebih sering kelihatan sedih. Mama udah mulai jarang tersenyum.
Mama juga mulai sering ke dokter, entah dengan alasan sakit kepala atau kepeleset hingga lengannya sakit dan harus diperban. Mama bohong sama dokter. Aku tahu, tapi dokter nggak pernah nanya sama aku. Setiap kali aku mau ngomong, Mama hanya tersenyum dan bilang aku nggak usah khawatir.
“Tugas anak-anak hanya belajar dan bermain,” kata Mama selalu. “Nggak perlu mikirin urusan orang dewasa.”
Lama-lama aku benci Papa. Papa selalu kasar dan bikin Mama nangis. Papa jahat!
Pernah satu malam aku keluar dari kamar. Mama sudah duduk di lantai dapur, di samping pecahan piring. Mama menangis. Papa berdiri di depan Mama dengan telunjuk tertuding.
“Kamu tahu kalo semua istri pembangkang itu masuk neraka?!”
“Papa!” aku menjerit. Keduanya menoleh karena kaget. Aku mulai menangis, tapi seperti biasa…Papa tidak luluh. Malah giliran aku yang dituding.
“Masuk kamar!” bentak Papa. “Anak kecil nggak usah ikut campur!”
“Bang, udah.” Mama buru-buru berdiri dan menyusulku yang sudah balik ke kamar, gemetar ketakutan. Setelah menutup pintu, Mama langsung memelukku.
“Sssh…nggak apa-apa, sayang. Papa cuma lagi capek aja…”
“Papa jahat!”
“Enggak, Anna. Papa cuma lagi capek aja-“
“Aku benci sama Papa!”
“Nggak boleh gitu, sayang. Dia tetap papa kamu-“
“Tapi Papa jahat sama Mama!”
“Sssh…udah, udah. Kamu tidur lagi aja, ya? Mama temenin, ya?”
-***-
Ibu Metha, maaf. Aku udah nggak tahan lagi. Mama pernah cerita soal Papa ke om, tante, kakek, dan nenek. Jawaban mereka selalu sama:
“Jangan cerai. Sabar, kasihan Anna. Biar bagaimana pun, anak tetap butuh kedua orang tua. Lagipula, apa nanti kata orang?”
Aneh, padahal mereka nggak pernah tanya mauku. Kenapa malah bilang ‘kasihan Anna’? Mereka juga sama aja, menganggap aku anak kecil yang nggak perlu tahu urusan orang dewasa.
Ibu Metha, aku takut. Aku nggak mau tumbuh dewasa dan menikah. Kata mereka harus, tapi aku nggak mau nanti kayak Mama.
Jadi, ternyata selama ini Mama nggak berani pergi ninggalin Papa gara-gara ada aku. Kalau aku jadi alasan Mama harus dipukul Papa tiap malam, aku nggak mau. Mungkin kalo aku udah nggak ada lagi, Mama bisa minta cerai sama Papa. Biar nggak dipukul lagi sampai nangis-nangis, Ibu.
Maafin Anna, Ibu. Ibu pernah bilang kalo bunuh diri itu dosa. Tapi, gimana kalo ini satu-satunya cara aku bisa ngebebasin Mama? Mungkin lebih baik aku yang masuk neraka, daripada Mama dipukul terus sama Papa…
Ibu Metha:
Aku merasa seperti diguyur air es. Pagi itu, kutatap lagi cerpen Anna yang kini di atas mejaku. Cerpen yang semalam rampung kubaca, sebelum kucoba menelepon rumah keluarga Anna.
Tidak ada yang mengangkat. Akhirnya, aku mengabari Pak Martin, kepala sekolah, dan Bu Maria, guru BK. Pagi ini sebelum jam pertama, Pak Martin hanya memintaku untuk berkonsentrasi mengajar murid-muridku, sementara beliau-lah yang akan mencoba menghubungi keluarga Anna.
Saat istirahat siang, aku mendapat kabar yang sama sekali tidak ingin kudengar. Anna Natalia, gadis cilik berusia 10 tahun yang cerdas dan pendiam itu, tidak akan pernah datang lagi ke kelasku.
Tadi pagi, dia ditemukan gantung diri di palang tirai kamarnya. Cerpen ini adalah usaha terakhirnya meminta pertolongan, karena selama ini suaranya tidak pernah didengar…