Aku menatap kembali wajah yang ada di depanku. Bentuk wajah yang keras sebagaimana laki-laki yang telah mengalami banyak hal dalam hidupnya. Struktur wajahnya itu telah membuatku jatuh cinta sejak pertama melihatnya beberapa bulan lalu.
Matanya tetap berbinar memancarkan semangat dalam dirinya walau cekung di bawah matanya terlihat. Lelah memang terlihat setiap sore setelah dia bekerja seharian namun binar matanya masih menunjukkan semangat hidup itu. Sesuatu yang jarang kutemukan di jutaan orang Jakarta lainnya. Dia pun tak semodis orang-orang yang bekerja di Thamrin lainnya. Pakaiannya sederhana namun menarik.
Aku rasa dia cukup pandai memadupadankan pakaian yang dikenakannya dengan pas. Dia terlihat menawan namun tidak berlebihan. Badannya pun tidak menebarkan wangi tak sedap sebagaimana kebanyakan pria di sore hari. Memang ada sedikit bau keringat sempat menyeruak dalam penciumanku, tapi hal itu justru membuatku semakin tertarik padanya.
Setiap hari, aku berkesempatan bertatapan dengannya seperti sekarang ini. Senyumnya itu membuat aku tak dapat memejamkan mata di malam hari. Senyum manis dan bisa kurasakan ketulusan di dalamnya, sesuatu yang jarang kutemukan juga di Jakarta nan padat ini. Semua orang tersenyum memang tapi selalu ada agenda tersendiri di setiap senyuman. Seperti yang kubilang, jarang yang setulus dia.
Dia mulai melonggarkan ikatan dasi yang terlihat mencekiknya sepanjang hari hanya karena tugas yang diembannya sepanjang hari. Ah, bagiku dengan dasi agak longgar, dia semakin menawan. Dan terkadang aku dapat melihat garis singlet yang dikenakannya saat itu. Pasti tak lama lagi dia akan menggulung lengan kemejanya.
Benar kan? Dia mulai menggulung lengan kemeja yang dikenakannya. Dua kali lipatan besar atau tiga kali lipatan sedang. Itu kebiasaannya setiap hari. Aku hapal dengan semua kebiasaannya. Setiap hari aku tak bosan menatap wajahnya, mengamati setiap gerak-geriknya. Tak lama dia akan mengeluarkan handphone kesayangannya.
Handphone tipe agak lama dibandingkan dengan yang biasa digenggam oleh para penghuni Jakarta, terutama segitiga emas ini. Dilihatnya pesan dalam handphonenya itu. Diketikkannya balasan atas pesan itu, jika diikuti dengan senyum, artinya tak lama lagi dia akan meninggalkanku. Jika tidak, dia akan di sini hingga esok hari.
Ah, senyuman. Artinya dia akan keluar sebentar lagi. Dia pasti sebentar lagi akan melepaskan kemejanya dan menggantinya dengan kaos tipe kesukaannya, polos warna hitam, abu-abu atau putih. Diikuti dengan mengganti celana kerjanya dengan jeans kesayangannya. Merapikan sedikit gaya rambutnya yang terawat rapi walau bukanlah tren rambut anak muda sekarang ini. Disemprotkannya parfum di tubuhnya itu sebelum berangkat.
Dan… yup. Dia berangkat. Biasanya kalau sudah begini, dia akan kembali menjelang tengah malam. Pernah suatu kali dia pulang bersama seseorang. Aku tidak tahu siapa nama orang itu dan bagaimana rupanya. Tapi aku mendengar pria cintaku ini berkata padanya seperti ini: ‘Aku, laki-laki paling beruntung karena bisa mendapatkan cintamu. Cinta pria terindah se-Jakarta ini Dimas.’
Saat itulah aku tahu, cintaku tak akan pernah terbalas. Tapi aku tidak dapat melupakannya begitu saja. Apalagi jika pria yang kucinta itu selalu mendatangiku setiap hari. Membiarkan mata kacaku beredar memandangi dirinya yang sempurna itu. Ah, aku hanyalah cermin yang merindukan belaian darinya.
***
Jumlah kata: 482
“Flashfiction ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis FlashFiction – Tentang Kita Blog Tour”