Aku kembali melirik jam di tangan kananku. Sudah lima belas menit berlalu dari jam delapan, waktu yang diucapkannya kemarin saat mengajak bertemu. Kulempar kembali pandanganku ke semua penjuru cafe. Tidak ada.. Batinku.
Aku pun kembali menekan recent call pada handphone jadulku.
‘Nomor yang Anda tuju sedang di luar jangkauan. Cobalah…’ Segera kumatikan teleponku itu.
‘Sial’ aku merutuki diri sendiri. Kenapa juga masih saja seperti ini. Tanpa kusadari, pikiranku membawaku ke beberapa tahun lalu, di cafe ini juga.
‘Aku harus pergi. Mungkin 2 tahun.’ Ujarmu saat itu setelah menyatakan bahwa kamu diterima dalam program beasiswa di sebuah universitas di luar negeri yang kamu impikan.
‘Tapi… Aku pasti kan kembali.’ Lanjutmu seraya mengambil gelas frappe cappuccino kesukaanmu itu. ‘Bila kamu bersedia menunggu, aku kan kembali dan meminangmu’
Aku hanya menundukkan kepalaku, mencoba menyembunyikan pipiku yang memanas saat itu mendengar ucapmu itu.
***
Dan di sinilah aku. Tepat 2 tahun, seperti ucapmu minggu kemarin. Kamu kan kembali dan mengajakku bertemu. Di sini.
Aku kembali melirik jam tanganku. Sudah tiga puluh menit berlalu. Namun, dirimu belum tampak juga. Mataku sudah mulai lelah menatap pengunjung yang baru masuk, berharap itu kamu.
Kuraih lagi handphoneku itu. Tak ada telepon ataupun sms. Tak ada kabar. Aku pun memutuskan menuliskan sebuah pesan ke nomormu.
‘Aku takkan lelah menunggumu, aku masih di sini – untukmu’
Pesanku itu sudah terkirim. Aku pun melanjutkan penantianku lagi.
‘Untuk apa kamu menunggunya?’ Aku ingat pertanyaan ibuku beberapa bulan lalu saat dia bertanya mengenai calonku.
‘Kamu buat apa menunggu? Toh dia juga tidak jelas kan?’ Ucap mama kembali. ‘Mama n papa sudah ingin menimang cucu darimu. Adikmu saja sudah memberi kami cucu.’
Aku pun hanya dapat diam mendengar ucapannya. Memang, aku sebagai anak pertama belum memberi cucu kepada mereka, adikku yang berbeda 2 tahun denganku sudah memberi Kevin yang lucu.
‘Sudahlah. Tak usah menunggu dia lagi.’ Ujar mama lagi yang segera kubantah.
‘Gak ma. Please. Aku mohon mama dan papa ngerti. Aku gak minta banyak. Cuma sisa 3 bulan ma. Kalau setelah itu tak seperti yang kuharapkan, aku kan ikuti permintaan mama.’
Akhirnya mama memang menyerah memaksaku untuk melupakan dia. Tapi mama tidak menyerah mengenalkanku dengan anak-anak dari temannya yang dianggap cocok denganku.
Aku pun bingung, stock temannya mama itu sepertinya tak habis-habis. Dan aku demi menyenangkan hatinya, jalan sebentar dengan mereka tapi kemudian kukatakan yang sejujurnya. Bahwa aku menunggu dia.
Aku pun merapikan tasku setelah setengah jam kembali berlalu. Sebelum beranjak meninggalkan cafe, aku meraih handphoneku sekali lagi. Tak ada pesan ataupun telepon. Aku pun melangkah menuju parkir mobilku.
Aku melangkah perlahan menuju mobilku. Telah kunonaktifkan alarm mobilku itu. Aku masih memegang handphoneku menantikan jawaban. Tapi sepertinya takkan ada.
Tiba-tiba sebuah tangan menutup mulut dan hidungku. Aku tak dapat bernafas bebas. Perlahan kurasakan sebuah benda dingin menempel di tubuhku. Semakin lama semakin dalam. Aku dapat merasakan bajuku mulai basah dengan cairan dari dalam tubuhku. Kegelapan mulai menghinggapi pandanganku. Keseimbanganku pun mulai goyah.
‘Aku sudah sampai.. Kamu di mana?’ Sebuah pesan singkat di handphoneku masuk bertepatan dengan berlalunya sosok yang baru saja mengambil harta terbesarku. ‘I’m right here… Waiting for you…’ Batinku sesaat sebelum nafasku berakhir.
Ryan
290313 1705