Hai, Sayang. Apa kabar? Kurasa kamu sedang sibuk akhir-akhir ini. Kerjamu begitu rajin. Kamu sedang mengincar promosi.
Tentu saja, harapanmu adalah agar kamu naik gaji. Dengan penuh semangat, janjimu padaku waktu itu adalah ini: “Semua ini untuk tabungan kita saat menikah nanti.”
Ah, bahagianya. Ternyata kamu serius dan pekerja keras. Makanya, Papa dan Mama langsung merestui saat kamu akhirnya berani melamarku.
Sebenarnya, aku bukan tipe high-maintenance. Tapi aku paham pola pikirmu. Kita memang harus realistis. Hidup tidak hanya makan (ucapan) cinta…
Kekasihmu
— // —
Hai, Sayang. Selamat atas kenaikan jabatanmu, ya. Aku sangat bangga padamu. Meskipun kamu tidak keberatan aku tetap bekerja, kuputuskan untuk resign dari kantorku setahun setelah kita menikah.
Ya, aku memilih untuk bekerja dari rumah saja. Kamu tahu ‘kan, aku sangat suka menulis. Itu cita-citaku dari kecil. Aku juga lebih betah di rumah, meskipun sesekali tidak menolak juga diajak keluar.
Untunglah, kamu tidak keberatan. Kamu bahkan senang sekali. Selain pulang bisa selalu disambut olehku, kita memang sedang fokus untuk ‘menambah anggota keluarga baru’.
Semoga kali ini berhasil. Jangan sampai aku keguguran lagi…
Kekasihmu
— // —
Hai, Sayang. Kamu makin sibuk sekarang. Apakah bosmu terlalu keras membuatmu bekerja?
Ah, semoga tidak. Akhir-akhir ini, aku kasihan melihatmu pulang larut dan dalam keadaan lelah. Kamu juga jadi kurang tidur.
Aku kangen. Dulu, meskipun sibuk, kamu masih punya waktu untukku. Kita dulu lebih banyak mengobrol dan sering…
Ah, mungkin sebaiknya aku jangan banyak mengeluh. Berkatmu, hidup kita berdua sudah sangat nyaman. Kata Papa dan Mama, aku sangat beruntung. Kamu bukan suami penuntut seperti kebanyakan laki-laki. Mau aku kerja di luar rumah atau jadi ibu rumah tangga, sama saja. Tidak apa-apa, asal aku masih cinta.
Mau dandan atau sedang malas, kamu juga tidak banyak ribut. Asal makanan selalu tersedia di meja setiap pagi dan malam – serta kita berkecukupan. Bahkan, kamu tidak ragu ikut turun tangan untuk urusan domestik. Dibilang banci sama teman-temanmu yang seksis? Kamu nggak peduli.
Makanya, aku bisa menerima kekuranganmu yang satu ini. Workaholic, sampai kadang suka lupa sama kesehatan tubuh sendiri. Sampai lupa sama ultah istri.
Hmm, sepertinya aku harus meninggalkan pesan untukmu. Takutnya kamu lupa lagi atau malah terlewat untuk yang satu ini. Dasar suami workaholic. Hihihihi…
Kekasihmu
— // —
“Hai, Sayang.
Sebenernya aku mau bilang pagi ini, tapi aku lihat kamu lagi buru-buru banget. Sabtu siang besok aku udah pesen tempat di kafe favorit kita, jam 12. Lagi nggak ada business trip ke luar kota ‘kan, minggu ini?
Ngomong-ngomong, hasilnya positif. Makanya, aku mau kita ngerayain.
Jangan lupa ya, Sayang.
Sekali lagi, Kekasihmu”
Tetes-tetes air mata jatuh ke atas kartu ucapan di tangan. Laki-laki itu terisak pelan dalam kesunyian. Sesal tak berkesudahan menyiksanya.
Baru kemarin pagi dia masih melihat istrinya. Kekasih hati yang mencoba mengabarinya sesuatu itu hanya dia balas dengan ucapan tandas, “Maaf, aku buru-buru. Sudah terlambat.”
Sudah terlambat. Kini, tidak ada lagi sarapan bersama, obrolan, maupun yang lainnya. Butuh satu kabar buruk lewat telepon hari itu untuk menyadarkannya, bahwa selama ini dia telah lalai. Ada yang jauh lebih penting dari uang dan jabatan.
Siapa sangka, hari itu istrinya menjadi korban kecelakaan lalu lintas saat pergi berbelanja…