Aku tidak sedang mencari romansa. Hidupku akhir-akhir ini biasa saja. Bangun tidur, kerja, dan pulang. Menulis, menulis, dan menulis lagi. Paling hanya sesekali aku bersosialisasi.
Lalu, apa yang kulakukan pada Rabu malam itu? Tadinya, aku hanya ingin langsung pulang ke kamarku, seperti biasa. Menulis untuk mendapatkan tambahan penghasilan.
Ashanti, salah seorang gadis yang kukenal di kantor co-working space itu, mengajakku nongkrong selepas jam kantor. Sebenarnya, kami tidak bekerja di perusahaan yang sama. Kami hanya kebetulan bekerja di lantai yang sama dan sering berpapasan.
Bahkan, beberapa kali kami sempat mengobrol di pantri co-worker. Hal-hal sehari-hari, bukan gosip seperti sangkaan miring masyarakat bila menyaksikan dua atau lebih perempuan bercengkerama. Biasa saja. Kami mengobrol tentang pekerjaan, hidup, hobi, dan masih banyak lagi.
Makanya, Ashanti mungkin sudah merasa cukup nyaman dan dekat untuk mengundangku ke acara tersebut.
“Ladies’ night,” katanya singkat, sambil tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya. “Di lantai bawah, ya. Sekitar jam delapan. Di McG’s.”
“Oke.” Aku tahu apa itu ‘Ladies’ Night’. Di bar biasanya diadakan pada Rabu malam. (Temanku yang tinggal dan bekerja di negara lain bilang Kamis malam kalau di sana.) Itulah malam di mana perempuan yang datang ke bar atau pub bisa mendapatkan minuman (beralkohol) gratis.
Kalau ada yang mengeluhkan atau nyinyir bahwa ‘Ladies’ Night’ itu keuntungan bagi kaum Hawa, aku malah merasa biasa-biasa saja. Bukan, bukan soal aku yang tidak begitu suka minum minuman beralkohol maupun kemampuan finansialku untuk membeli gaya hidup seperti itu.
Maksudku, bayangkan seorang perempuan pekerja yang minum agak terlalu banyak di pertengahan minggu. Apalagi, Ladies’ Night biasanya juga dihadiri banyak laki-laki. Ada yang masih lajang, ada yang…yah, begitulah. Intinya, mereka datang untuk mencari perempuan. Ada yang bilang, ini simbiosis mutualisme. Toh, ada juga perempuan-perempuan yang mencari mereka.
Tapi, ada juga perempuan yang hanya ingin nongkrong dengan sesama teman perempuan lainnya. Ya, seperti aku, Ashanti, dan sahabat Ashanti, Camelia, malam itu.
Oke, kembali ke soal perempuan minum minuman beralkohol terlalu banyak di pertengahan minggu. Mungkin aku yang terlalu paranoid dan banyak menonton film-film Hollywood tentang ini. Tapi, bukankah film-film biasanya juga terinspirasi dari kisah nyata? Bagaimana kalau ada yang minum agak terlalu banyak sehingga mabuk? Alamat besoknya harus izin sakit karena terlalu pengar untuk bekerja, produktivitas terganggu, hingga…
Ah, itu ‘kan, bukan hanya kebiasaan perempuan. Banyak laki-laki yang suka begitu, namun sayangnya masih dianggap lebih wajar. Kalau perempuan…ah, sudah pada tahu, ‘kan? Patriarki memang suka main standar ganda begitu.
Meskipun ada Ladies’ Night, ada juga kok, perempuan-perempuan yang bertanggung-jawab. Mereka memilih untuk minum secukupnya, meskipun mendapatkan tiga kupon minum gratis seperti aku, Ashanti, dan Camelia malam itu. Akulah salah satunya. Bukannya sok alim atau apa ya, tapi aku sudah tahu betapa mengganggunya aku kalau sudah mabuk. Aku berubah jadi bawel dan tertawa melulu, bahkan meskipun tidak ada yang lucu.
Tapi, aku tidak mau menghakimi perempuan yang memilih minum sampai banyak malam itu. Yang kutakutkan, suka ada laki-laki berniat jahat dengan memasukkan sesuatu ke dalam minuman mereka. Menyebalkan memang, tapi laki-laki brengsek ini banyak diuntungkan dengan patriarki yang lebih sering memihak mereka.
-***-
Ashanti tertawa saat kubagi pemikiranku yang luas namun pasti terdengar ribet bagi banyak orang. Rabu malam itu di McG’s, dia dan Camelia sama-sama nyengir sambil menyesap bir.
“Sebenarnya, Ladies’ Night hanya buat relaxing,” ujar Ashanti yang malam itu tampak cantik dengan gaun hitam berlapis blazer biru dan mengenakan lipstik merah menyala. Yah, aku sportif kalau soal mengagumi penampilan sesama perempuan. “Stres di kantor, santai sejenak di acara kayak gini meskipun belum weekend.”
Ah, mungkin Ashanti benar. Aku yang terlalu skeptis, sehingga berpikirnya jadi ribet sendiri. Tapi, tidak ada salahnya ‘kan, untuk berjaga-jaga? Wajib malah, mengingat di negara ini, korban perempuan lebih sering disalahkan daripada dibela.
Kuputuskan untuk memesan sebotol Albens sebagai minuman gratisku malam itu. Apple cider (dengan tambahan sari rasa stroberi) lebih banyak mengandung soda daripada alkohol. Biasa, cari aman. Soalnya, malam itu aku akan pulang sendirian, seperti biasa.
Meja di samping kami berisik sekali, meskipun suara musik dari pub mendentum-dentum. Empat orang ras Kaukasia – dua laki-laki dan dua perempuan – duduk di sana. Mereka mengobrol dalam bahasa Inggris sambil tertawa keras sekali. Melihat meja mereka yang sudah penuh dengan botol bir kosong, pantas saja mereka begitu ‘ceria’. Lamat-lamat telingaku menangkap aksen Australia yang cukup kentara.
“Tadinya, dua cewek itu duduk terpisah,” kata Ashanti memberitahuku. “Tapi, begitu dua cowok itu datang, mereka langsung menghampiri duluan. Hihihihi…”
Camelia juga terkikik geli, sementara aku hanya nyengir. Buatku, itu bukan masalah. Kalau memang sama-sama tertarik, mengapa tidak? Kenapa apa-apa harus selalu menunggu laki-laki yang mulai duluan?
Ngomong-ngomong soal laki-laki, salah satu dari mereka di meja itu menatapku. Dia sosok gempal berambut merah, brewokan, dan berkulit pucat. Matanya berwarna biru kelabu. Laki-laki itu tersenyum padaku. Manis sekali, sehingga sesaat aku tertegun. Benarkah dia tersenyum padaku? Ah, dasar peragu. Kenapa aku selalu tidak yakin bahwa lawan jenis pun ada yang tertarik padaku?
Di antara kami bertiga, hanya aku yang malam itu tidak berdandan untuk Ladies’ Night. Ashanti dan Camelia sama-sama bergaun cantik dan berwajah terpulas makeup. Biasanya, laki-laki seperti si rambut merah tadi akan melirik mereka ketimbang aku yang…aduh, bagaimana ya, menggambarkannya?
Aku tahu, aku sebenarnya juga tidak jelek-jelek amat. Kata orang, aku hanya kurang berdandan. Yah, kadang-kadang aku memang malas kalau kurasa tidak perlu-perlu amat. (Misalnya: saat harus menghadiri pernikahan, pastinya aku berdandan.) Malam itu, aku juga sedang stres dengan urusan kantor. Aku tidak sempat berdandan (lebih tepatnya, tidak mau meluangkan waktu) sebelum akhirnya turun ke McG’s. Aku hanya mengenakan blus yang sudah lecek, celana panjang hitam, dan sepatu flat. Aku bahkan membawa ransel berisi laptopku, alih-alih tas tangan cantik seperti kedua temanku.
Ah, jangan-jangan aku salah lihat. Mungkin si rambut merah tadi tersenyum pada Ashanti atau Camelia, bukan padaku.
Beberapa saat kemudian, kurasakan si rambut merah melirikku lagi dari meja itu dan tersenyum. Namun, aku masih belum percaya. Aku malah menyalahkan Albens yang kuminum malam itu.
Dua jam berlalu. Ashanti dan Camelia ingin pulang. Aku juga tidak ingin tinggal sendirian. Kutatap dua tiket ‘minum gratis’ yang masih di tanganku, lalu kuhampiri meja keempat orang itu.
“Excuse me.” Mereka menoleh padaku. “I’m afraid I can’t finish these.”
“Oh, thank you.” Gadis berambut cokelat langsung memelukku dan menerima sisa tiketku. Ketika mataku bertemu untuk ketiga kalinya lagi dengan mata kelabu si rambut merah, barulah aku benar-benar yakin. Tidak hanya tersenyum, laki-laki itu mengedipkan sebelah matanya padaku.
Aku hanya membalas senyumnya dengan singkat, sebelum akhirnya berbalik dan melenggang pergi. Tidak, aku sedang tidak bersikap sok jual mahal. (Halo, aku bukan barang!)
Aku juga tidak tergoda untuk menoleh ke belakang. Untuk apa? Ini bukan roman picisan ala chickflick Hollywood. Dia tidak akan serta-merta mengejarku untuk menanyakan nama dan nomor ponselku. Ini dunia nyata. Tidak semudah itu.
Lagipula, kepalaku juga mulai agak pusing. Mungkin, seharusnya aku lebih teliti lagi mengecek kadar alkohol dalam sebotol Albens yang kupesan malam itu…
-selesai-