Entah apa yang waktu itu membuatku sudi mengikutimu. Membolos kuliah sesiangan itu, hanya untuk cabut sebentar ke mal terdekat. Kita ke sana dengan sedan putih antikmu.
Aku, si anak rajin yang bisa dibilang kutu buku. Chubby, nggak gaul, dan…minderan. Serius, hingga aku membenci diri sendiri karenanya. Meski berteman dengan banyak cowok, aku selalu merasa mereka tidak akan mungkin tertarik padaku lebih dari itu.
Kamu, yang awalnya selalu terlihat cuek, pendiam, dan penyendiri. Ada yang bilang, gayamu gothic sekali, meski tanpa eyeliner. Kamu lebih banyak sibuk dengan buku-buku sastramu daripada mengobrol dengan teman lain di kelas.
Lalu saat itu tiba. Aku duduk pas di sampingmu di satu kelas dan iseng bertanya soal salah satu bukumu. Sejak itulah kita berteman. Sejak itulah mulai sering kulihat senyummu, sinar matamu. Tawamu yang berat dan dalam, namun hangat.
Kita sering terlihat berdua di kampus. Makan bareng di kantin, nongkrong di alun-alun atau bagian belakang Gedung Putih, hingga nyaris selalu bersebelahan dengan kelas. Tak kupedulikan tatapan iri bercampur sinis dari beberapa mahasiswi yang lebih kurus, cantik, dan modis.
Aku tidak bodoh atau pun naif. Aku tahu, bila disejajarkan dengan mereka semua, aku pasti akan jadi yang paling terakhir dilirik cowok. Selain chubby, aku juga tomboy. Aku jarang sekali pakai rok dan nggak suka dandan.
Kalau soal kamu yang waktu itu sempat dekat denganku beberapa temanku yang cewek punya teori:
“Mungkin karena elo orangnya cuek, nggak keganjenan.”
Hmm, mungkin. Tapi, aku khawatir juga. Pasalnya, ada mahasiswi cantik yang menangis karena cintanya kamu tolak. Wah, kalau begitu, apa kabar aku yang menurutku biasa-biasa saja?
“Jangan nyerah dulu,” pinta mereka memberi semangat. “Siapa tahu dia diam-diam menyukaimu, namun sedang mencari waktu yang tepat untuk ‘nembak’.”
Ah, benarkah? Aku enggan berandai-andai. Takutnya, aku akan kecewa, semakin minder dan merasa bodoh bila ternyata tidak kesampaian. ‘Kan malu jadinya?
Ya, kuputuskan untuk ikut membolos denganmu Senin sore itu. Ada konflik batin yang tercipta akibat rasa penasaranku. Hati kecilku masih ingin percaya, berharap kamu sebenarnya juga menyukaiku.
Namun, benakku mengingatkan agar aku tidak terlalu berharap.
Intinya, firasatku mengatakan bahwa waktu kita sering nongkrong bareng sebentar lagi akan berkurang, sebelum akhirnya hilang sama sekali. Jadi, kenapa tidak kunikmati saja sekarang, mumpung masih sempat?
Awalnya, kukira hanya kita berdua yang membolos. Dalam perjalanan ke tempat parkir, kita bertemu tiga teman cowok lain. Jadilah, sedan putihmu sore itu penuh sesak.
Sore itu, aku duduk di sampingmu yang sedang menyetir. Kamu menyetel lagu-lagu ‘jadul’ yang kebetulan juga kuhapal. Kamu pernah bilang bahwa menurutmu, era ’80-an adalah era dengan kualitas musik terbaik.
Sepanjang jalan ke mal, kita semua bernyanyi-nyanyi riang, mengobrol, dan tertawa-tawa. Jujur, aku sangat bahagia. Jantungku berdebar saat tanganmu tak sengaja bersentuhan dengan pahaku ketika hendak memindahkan gigi persneling.
Kita tidak lama di mal, paling hanya sejam-dua jam. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup. Setelah itu, kita kembali ke kampus.
Sampai di kampus, kita berpencar. Ketiga teman kita tadi entah ke mana, sementara kamu mengajakku nongkrong berdua lagi di belakang Gedung Putih. Sempat kita berpapasan dengan salah seorang teman sekelas. Katanya, ternyata hari itu kuliah ditiadakan. Dosen sedang berhalangan.
“Kalian beruntung.” Sepeninggal teman kita, kamu dan aku bertukar tatap dan seringai badung. Ya, kita beruntung.
Selama sisa sore itu, kita mengobrol di belakang Gedung Putih. Berdua saja, menikmati sisa senja hari itu. Mungkin yang melihat akan mengira-ngira: “Oh, betapa romantisnya.” Ha-ha. Mereka tidak tahu bahwa permintaanmu berikutnya seketika membunuh harapanku yang memang dari awal sudah semu.
“Jadi mak comblang gue, dong. Cariin cewek buat gue.”
Yuk, mari. Percayalah, saat itu aku tengah membatin dengan nada sarkastis. Ada yang terasa retak dalam dadaku, namun kamu tidak tahu…
—***—
Maafkan aku. Seharusnya aku menjadi teman yang baik waktu itu. Seharusnya aku lebih rela, demi kebahagiaanmu.
Aku gagal menjadi mak comblang untukmu. Tidak hanya itu, aku berubah semakin minder, murung, dan mulai uring-uringan. Aku merasa serba kurang. Kurang cantik, kurang kurus, kurang putih, kurang cerdas, kurang menarik…ah, pokoknya semuanya. Selalu serba kurang.
Kurang berani untuk jujur padamu mengenai perasaanku.
Dalam sekejap, aku berubah dari teman yang menyenangkan menjadi cewek yang terlalu rewel dan merendahkan diri sendiri. Kamu tidak suka. Aku juga tidak, namun terlalu sedih dan pengecut untuk jujur padamu waktu itu.
Kita pun merenggang, bertepatan dengan cewek-cewek cantik itu yang kembali berusaha menarik perhatianmu. Semakin jauh dan dalam aku mundur ke latar belakang.
Aku cemburu. Kurasa aku telah lama jatuh cinta padamu…
Saat akhirnya kamu punya pacar baru, kuputuskan untuk sama sekali berhenti memandangmu – meskipun dari jauh. Harus.
—***—
Aku sempat lama tidak melihatmu selepas kelulusan kita. Waktu begitu cepat berlalu. Kita telah lama menjalani hidup yang terpisah, benar-benar berbeda.
Dari media sosial, kutahu kamu sudah menikah. Anak perempuanmu cantik, dengan mata yang mirip matamu.
Pernah sekali-dua kali kita tanpa sengaja berpapasan di ruang publik. Kadang kamu bersama istri atau teman-temanmu, sementara aku dengan adik laki-lakiku atau seorang diri.
Aku masih lajang, tapi sama sekali bukan karenamu atau siapa pun. Aku masih menjalani hidupku dengan kebahagiaan. Bekerja, berkumpul dengan teman-teman, dan melakukan banyak kegiatan.
Dulu, kukira perasaan ini akan selalu membelenggu, seperti hantu yang kerap mengganggu. Namun, ucapan bijak itu benar-benar terbukti dan bukan ocehan palsu.
Hanya pilihan dan waktu yang akhirnya membuatku sadar. Aku harus berdamai dengan realita tentangmu.
Sama seperti hari yang ditutup senja sebelum malam, perasaan itu pun karam. Tenggelam di masa lalu, hilang oleh pergeseran waktu…