Hati-hati dengan keinginanmu. Sudah sering kudengar nasihat itu. Namun, ada kalanya kita lupa saat sedang galau…
Kita nyaris tak pernah mengobrol. Hanya sesekali berpapasan di aula kampus. Kamu, sosok populer dan tampan, yang mungkin cocok jadi karakter paling klise dalam film rom-com mana pun. Aku, gadis gemuk yang tomboy dan sering sok cuek, padahal diam-diam deg-degan setiap kali melihat sosokmu.
Namun, untungnya kamu bukan sosok yang brengsek sok kecakepan. Kamu tidak pilih-pilih saat menebar senyum ramah, termasuk kepada si gadis gemuk yang pernah tanpa sengaja menumpahkan mocha latte ke bagian depan kaosmu yang waktu itu berwarna putih. Waktu itu, aku gelagapan sampai meminta maaf berkali-kali.
“Maaf-aduh, maaf-nggak sengaja-aduh, maaf…”
“Nggak apa-apa.” Ajaib, kenapa kamu masih bisa tersenyum begitu ramah dan menenangkan? Kamu bahkan hanya menggeleng saat kutawarkan untuk mengganti kaosmu yang kurusak gara-gara tumpahan minuman. Malah Miranda, si gadis menyebalkan yang entah kenapa merasa memilikimu, yang jauh lebih galak.
“Pake mata kalo jalan! Mana itu latte masih panas lagi.”
“Sudah, Miranda,” bujukmu sabar. Lalu, kalian berdua berjalan meninggalkanku. Kamu berbelok ke toilet laki-laki, sambil mencari-cari sesuatu di dalam ranselmu. Kaos ganti, mungkin? Duh, moga-moga aku tidak sampai mengacaukan harimu.
Sepulang kuliah, Abangku menjemput dengan mobilnya. Dia menatapku heran.
“Kenapa?” tanyanya penasaran. Aku hanya cemberut dan masuk ke dalam mobil, lalu duduk di sampingnya sambil menggeleng. Kupasang sabuk pengaman sebelum tatapanku kembali tertumbuk ke luar.
Ah, lagi-lagi kamu. Dikelilingi banyak mahasiswi yang kutahu jelas-jelas mencari perhatianmu. Namun, tatapanmu malah terarah padaku. Meski sekilas, aku tahu aku tidak sedang berkhayal atau terlalu banyak berharap.
Kamu sedang tersenyum.
Ingin aku balas tersenyum, namun Abangku keburu membawa mobil itu berlalu. Yaaah, entah apa kamu sempat melihatku tersenyum tadi…
Terlalu malu-malu untuk mengajakmu berkenalan, aku diam-diam punya harapan aneh:
Aku ingin tahu rasanya mengamatimu tanpa ketahuan. Sehariii saja…hanya untuk mengenalmu. Tapi, aku bukanlah Susan Storm, salah satu superhero dalam Tim Fantastic Four…
-***-
Hati-hati dengan keinginanmu. Sudah sering kudengar nasihat itu. Biasanya, kita baru ingat saat akhirnya terkabul…
Aku melihatmu lagi sepulang kuliah di parkiran. Saat itu, kita sedang berada di tempat yang berseberangan. Abangku belum datang menjemput. Hampir semua temanku sudah pulang atau ikut kegiatan lain di kampus.
“Coba aja ajak dia kenalan dulu,” saran salah satu sahabatku. “Nggak usah ngarep bakal langsung pacaran kayak rom-com basi. Temenan aja dulu, trus liat gimana aja nanti. Ayo dong, hari gini emansipasi. Katanya lu feminis.”
Iya juga. Akhirnya, kuputuskan untuk memberanikan diriku. Pelan-pelan kuberjalan menghampirimu. Sayang, aku lupa melihat kanan dan kiriku – hingga akhirnya kudengar teriakan seseorang memanggil namaku. Sudah terlambat…
BRUK!
-***-
Mimpikah aku? Apakah peristiwa tadi sungguhan – dan aku ternyata sudah mati? Yaaah, tidak sempat kenalan denganmu, deh.
Eh, kok? Kubuka mataku dan mendapatiku berada di kamar yang sangat asing. Bukan kamarku. Aku tertidur di ranjang berseprai biru. Saat berbalik, nyaris aku menjerit kaget.
Heh, kenapa kamu tidur di sampingku?! Kenapa aku bisa ada di sini? Belum pulih rasa shock-ku, kuperhatikan matamu terbuka. Aku tidak berani bergerak. Anehnya, kamu seperti tidak melihatku. Lumayan, aku bisa menikmati wajah tampanmu dari jarak sedekat ini.
“Hai…” sapaku, namun dering ponsel membuatmu bangun dari tempat tidurmu. Kamu langsung meraih ponselmu di meja. Wajahmu tampak serius, sebelum roman mukamu berubah. Kamu tampak cemas.
“Kenapa? Oke, tunggu.”
Eh, kenapa? Hei, mau ke mana? Tunggu, aku ikut! Aku berlari sekuat tenaga, enggan tertinggal olehmu…
-***-
Ajaib, aku bisa ikut masuk ke dalam taksi pesananmu tanpa ketahuan olehmu. Belum pernah kulihat kamu secemas ini. Taksi ini membawaku ke rumah sakit.
Kamu turun sesudah membayar. Aku ikut. Tapi…eh, kamu tidak masuk. Kamu seperti menunggu seseorang keluar dari sana, karena kamu langsung menelepon seseorang dengan pemberitahuan singkat:
“Kita ke pojok biasa, ya.”
Hah? Kuikuti saja dirimu ke salah satu pojok gedung rumah sakit yang berbatasan dengan gedung kafe di sebelahnya. Celah ini cukup terpencil, tidak begitu tampak dari luar. Kamu hanya berdiri bersandar pada dinding dan menarik napas.
Tak lama, seseorang menghampirimu. Aku terkesiap, karena aku mengenalnya juga.
“Aku belum siap ngomong. Adikku masih belum sadar. Nanti Papa dan Mama tambah stres kalau tahu.”
Belum pernah kulihat Abangku menangis sesenggukan seperti itu. Matanya memerah. Tiba-tiba dia tampak sangat muda…sangat tidak berdaya…
Lalu kamu…ah, sekarang kutahu arti senyummu di parkiran kampus sore itu. Senyum itu ternyata bukan untukku, karena kini kulihat kamu memeluk erat Abangku, mencium dahinya sambil berusaha menenangkannya.
“Ya udah, nggak apa-apa, Sayang. Tunggu aja sampai adikmu sadar dulu…”
Ya, Tuhan. Aku sendiri hanya terperangah, sebelum…
BRUK!
-***-
Hati-hati dengan keinginanmu. Sekarang aku tahu. Karena begitu tersadar dari koma dan melihat keluargaku, lidahku terasa kelu. Apalagi, saat kulihat mata sembab Abangku.
“Kamu tungguin adikmu di sini, ya,” kata Mama sambil menepuk bahunya. “Mama sama Papa mau bicara sama dokter dulu.”
Sepeninggal mereka, kutatap Abangku yang kini tersenyum padaku. Aku belum bisa, lebih tepatnya belum ingin, mengatakan apa-apa. Aku hanya menariknya mendekat, sehingga dia sekilas tampak heran.
“Hei, kenapa?”
Aku hanya menggeleng, namun terus menariknya hingga akhirnya berhasil memeluk kepalanya di samping kepalaku. Dia hanya balas memelukku.
Saat itulah tetes-tetes air mataku mulai jatuh…
- Selesai –