“Pa, besok boleh ya… aku mau jalan sama teman. Ke Bandung, ramai-ramai.”
Papa yang sedang menonton tivi memalingkan wajahnya padaku. Wajahnya berubah. Ah… not a good time, batinku. Salah langkah ini mah namanya.
“Nginep? Sama siapa?” Papa bertanya dengan nada pelan, belum ada tanda marah-marah dalam suaranya.
“Iya pa. Nginep, rame-rame kok. Sama Yanto, Doni n Ricko.”
Papa diam. Aku pun lebih diam. Papaku ini bukanlah orang yang gampang. Dia lebih sering marah padaku. Dia lebih suka melarangku melakukan hal-hal yang aku inginkan. Sejak dulu seperti itu. Tak jarang aku terpaksa di rumah saat teman-temanku bersenang-senang di luar sana. Itulah Papaku.
“Acara apa? Harus pergi?”
Ah kan… ini tanda nih… biasanya kalau sudah seperti ini tidak akan diijinkan.
“Cuma jalan-jalan aja kok Pa. Kan baru selesai ujian. Kita mau refreshing aja kok.”
“Kan baru ujian. Belum juga keluar hasilnya. Ngapain juga jalan-jalan sekarang. Jalan-jalannya tuh nanti kalau nilai ujiannya dah keluar dan kamu dapat nilai bagus.”
Dan… benar kan. Seperti biasa, aku tidak diijinkan.
“Tapi pa… semua mau jalan-jalannya sekarang. Ayolah pa. Sekali ini aja.”
“Gak.” Papa pun kembali menatap siaran berita kesayangannya.
“Aku ini dah gede pa… dah 17. Papa gak bisa larang aku kayak gini lagi.”
Papa menatapku tajam. Wajahnya memerah, menahan amarahnya. Tapi dia hanya diam. Aku pun segera keluar rumah, membanting pintu di belakangku keras. Aku ini lelaki, bukan perempuan yang berhak papa pingit dan jaga seperti itu, batinku. Semua-semua dilarang.
Aku pun ke rumah Yanto. Di rumah itu sudah ada Doni dan Ricko. Mereka memang sudah janjian untuk tidur di rumah Yanto, jadi besok bisa berangkat pagi-pagi. Rumahku dan rumah Yanto dekat, jadi rencananya aku dijemput langsung. Yanto dan Doni sedang bermain WE, sedangkan Ricko sedang membaca majalah. Aku menghempaskan badanku ke sofa di samping Ricko.
“Kenapa lo?” tanya Ricko begitu melihat wajahku bertekuk tujuh. “Lipetan muka lo ngelebihin lipetan lemak perut gw.”
“Biasa…”
“Bokap?” tanya Yanto tanpa mengalihkan pandangannya dari layar tv.
“Yoi. Gak dikasih ijin lagi gw. As always.”
“Lo dah kayak anak gadis aja deh Dim. Dipingit.” ujar Doni yang diikuti gelak tawa Ricko dan Yanto bersamaan.
Aku hanya diam memendam kesal. Ini bukan kali pertama juga mereka meledekku. Tapi kali ini rasanya aku dah tak kuat lagi.
“To… pokoknya, besok pagi lo tunggu gw di depan gang ye. Gw ikut!”
“Yakin lo Dim? Bokap lo gimana?”
“Tau ah… biarin aja. Daripada gw juga bete di rumah sama dia.”
Malam itu aku kembali ke rumah dan segera masuk ke kamar. Aku tak menghiraukan ajakan mama untuk makan malam. Aku menyiapkan tas yang akan aku bawa besok. Aku berniat keluar rumah pagi-pagi sebelum papa bangun.
***
Aku pulang hari Minggu sore. Saat tiba di rumah, aku melihat rumah agak gelap. Rupanya lampu teras masih belum dinyalakan. Biasanya jam segini mama sudah menyalakan lampu, batinku, apa mama lupa ya?
Aku pun mengetuk pintu rumah namun tidak ada jawaban sama sekali. Aku melongok dari jendela, keadaan dalam rumah pun gelap. Tidak ada tanda-tanda orang di dalam. Entah sedang ke mana semuanya. Aku pun tidak membawa kunci rumah sehingga aku tidak dapat masuk.
“Dim… kamu dah balik?” tiba-tiba terdengar suara Bi Nah, tetangga sebelah rumahku. Kulihat dia tergopoh-gopoh mendekat, kain kebaya yang selalu dipakainya itu diangkat agak tinggi agar dia dapat bergerak lebih cepat.
“Baru aja bi. Pada kemana sih bi? Kok sepi?”
“Duh Dim…. dari kemarin tuh kita semua coba hubungin kamu. Tapi handphonemu gak aktif.” Suara Bi Nah terdengar agak cemas. Aku memang sengaja mematikan handphoneku agar tidak ditelepon papa.
“Iya bi. Handphonenya habis batre, saya gak bawa charger” kilahku.
“Itu… Bapak…. Bapakmu di rumah sakit. Kemarin dia pingsan di kamar mandi. Untung aja cepet ketahuan sama ibumu. Langsung dibawa ke rumah sakit. Sekarang juga masih di sana Dim.”
Aku pun terkejut mendengar berita ini. Ya ampun…. Apa yang telah aku lakukan?
“Ayo Dim, ini bibi juga lagi mau ke rumah sakit.”
Aku pun segera mengekor di belakang Bi Nah. Apa yang telah aku lakukan, Tuhan. Papa…
Setiba di rumah sakit, aku segera menuju ICU tempat papa dirawat. Kata Bi Nah, papa masih dalam kondisi kritis makanya masih di ICU. Di depan ICU, aku melihat om dan bibiku. Mereka tampak bersedih.
“Dimas! Kamu ke mana aja?” Tanya omku begitu melihat diriku. Tanteku yang tadi tertunduk menangis, mengangkat kepalanya dan menggeleng pelan.
“Gimana papa om?”
“Masih kamu berani tanya soal papamu? Masih peduli kamu?” tanya omku agak marah.
Aku terdiam. Memang aku ini anak kurang ajar, batinku. Aku sudah membuat papa kecewa dengan kabur kemarin.
“Mas, jangan gitu. Walau gimana dia tetap anaknya.” Tante mencoba menenangkan om.
“Gak ada tuh namanya anak yang kayak dia. Kabur dan gak ada kabar sama sekali.”
“Udah mas. Ingat, ini di rumah sakit mas.”
Aku mendengar suara pintu kamar ICU terbuka pelan. Mama keluar dari dalam. Wajahnya lesu dan letih. Aku segera mendekatinya dan memeluknya. Aku pun menangis dalam pelukannya.
“Ma, maafin Dimas ma.” Mama memelukku erat. “Gimana papa ma? Dimas mau lihat papa ma.”
Aku merasakan pelukan mama semakin erat saat aku menyebut papa. Aku mencoba melepaskan diri dari pelukan mama. Tapi mama malah semakin erat memelukku. Tak ingin melepaskanku.
Aku merasa tubuh mama bergetar hebat. Isakannya semakin terdengar.
“Dim… papa…”
“Papa kenapa ma?”
Mama masih terus menangis dalam pelukanku.
“Nis, mas kenapa Nis?” Tanteku mendekat. Bi Nah dan om pun juga turut mendekat.
***
Yang aku ingat setelah kejadian itu adalah aku terbangun di salah satu kamar di rumah sakit itu. Aku pingsan kata Bi Nah setelah mendengar kepergian papa. Menurut dokter, papa terkena serangan jantung. Papa yang selama ini selalu terlihat galak ternyata telah mengidap sakit jantung selama beberapa tahun. Papa dan mama sengaja merahasiakan hal ini dariku.
Aku baru saja duduk di tepi ranjang di kamar papa saat mama masuk dan duduk di sisiku. Mama memelukku erat. Aku pun kembali menangis dalam pelukannya.
“Sudah Dim. Relakan dia. Papa pergi meninggalkan kita, tapi selalu akan ada di sini.” Ucap mama menunjuk ke dadaku.
“Tapi ma… kalau aja kemarin aku…”
Mama memotong ucapanku. Dia memelukku semakin erat.
“Bukan salahmu. Papa dan mama dah sadar kalau hanya masalah waktu sampai semua ini terjadi.”
Mama melangkah ke arah lemari pakaian dan mengambil sebuah amplop kecil. Dia menyerahkannya padaku.
“Papamu sudah menulis surat ini beberapa bulan lalu. Bacalah.” Ujar ibuku meninggalkanku sendiri.
Dimas, kalau kamu membaca surat ini, tandanya papa sudah tak ada di sisimu lagi. Kamu harus kuat Dim. Kamu itu laki-laki, harus jaga mama. Tapi jangan sekali-sekali kamu anggap remeh kekuatan mamamu itu, dia jauh lebih kuat dari siapapun.
Papa minta maaf ya Dim karena sudah keras ke kamu selama ini. Tujuan papa cuma satu, agar kamu siap. Agar kamu fokus dalam sekolah kamu, selesai dengan baik dan jadi anak kebanggaan. Papa ini bukan lulusan kuliahan. Mamamu juga bukan. Makanya papa keras ke kamu, agar kamu dapat jadi orang kuliahan, gak seperti papamu ini.
Papa gak masalah kalau kamu ingin senang-senang Dim. Tapi semua ada waktunya. Kamu boleh bersantai jika kamu dah mencapai sesuatu. Kamu menghasilkan sesuatu dan kamu nikmati semua itu, semua akan jauh lebih terasa berharga.
Dim, papa minta kamu terus semangat menjalani hidupmu. Jadilah bintang Dim. Apapun pilihanmu nanti, papa dan mama akan selalu dukung kamu. Jangan pernah kamu menyerah.
Surat papa singkat. Namun membuatku semakin menangis.
“Maafkan anakmu ini pa. Selama ini aku telah salah padamu, menganggapmu egois…”
Aku pun melangkah ke luar kamar, menemui mama yang sedang sibuk (atau menyibukkan diri) di dapur bersama Bi Nah yang membantu selama acara pemakaman papa hingga peringatan 7 hari ini. Aku pun memeluk mama.
“Maafin Dimas ya ma.” Mama mengelus lembut rambutku. “Dimas janji akan jadi bintang keluarga ini ma.”
Mama pun memegang wajahku, menatap lekat dan mencium keningku. Aku seakan merasakan kehadiran papa, dan dia juga ikut mencium keningku.
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi***
Untuk para ayah di mana pun, terima kasih atas cintamu, dengan segala caramu mencintai kami, anak-anakmu. We love you, Dad.
Teruntuk Alm Papa…. i miss you… i love you… Thank you for your love, Dad.
Jadi berkaca2 juga…RIP Papanya ya, semoga sudah damai di Surga
Makasih mba.
Mas ryan mirip papanya yaa
Mirip ya? Berarti anak kandung.
Sedih juga baca ceritanya. Ayah emang gitu ya, keras, suka ngelarang larang dan seringkali pandangannya berbeda sm pandangan kita, tapi itulah cara utk menunjukan perhatiannya
Iya mas. Memang spt itu dia.
Cinta Papa, cinta yang memberi, menguatkan tanpa banyak kata…
Papanya Ryan juga sangat bangga dengan capaian putra beliau kini.
Salam
Iya mba. Tanpa kata, dia memberi.
:’)
kenapa mas?
cerita tentang orang tua seperti ini sering bikin aku terharu…
Ini gara2 tulisan mas
ohh…. 🙂 | iya, saya mikirnya : ini cerita tentang orang tua, yang dulu kata Mas Ryan belum ‘bisa’ dituliskan. 🙂
Iya. Tapi bukan seperti itu sih kejadian aslinya. Cm mang alm papa lebih suka diam n cuma ngelarang tanpa kasih penjelasan.
ceritaku juga nggak 100% sama dengan kejadian asli kok. karena tetap ada bagian-bagian yang ingin kita simpan sendiri, kan? 🙂
Iya mas.
Kangen papa