Kami berdua kini hanya terdiam. Gelas berisikan cappuccino pilihanku tinggal separuh. Setelah jeda yang begitu lama, lelaki itu menghabiskan isi gelasnya dengan sekali tegukan.
“Jadi… kamu sudah pasti? Tidak mungkin membatalkannya?” lelaki berkacamata bernama Mike itu kembali bertanya kepadaku.
Aku pun menganggukkan kepalaku kembali.
“Perkataanku sekali pun takkan dapat merubah keputusanmu kan?”
Aku menganggukkan kepalaku dan memainkan gelas cappucinnoku.
“Jadi untuk apa pertemuan ini?” Mike memperbaiki posisi duduknya, tegak menatapku.
***
“Makasih ya. Kamu masih mau mengantarku. Kupikir kamu marah karena pertemuan malam itu.” Mike hanya tersenyum.
“Aku tak mungkin marah kepadamu. Apapun yang kamu lakukan.” Dia memelukku erat dan kemudian mencium keningku. “Hati-hatilah kamu di sana. Kabari aku begitu pesawatmu mendarat.”
Aku pun menganggukkan kepalaku. “Iya. Aku akan hati-hati di sana sayang. Tunggulah aku, aku kan kembali.”
“Aku kan menunggu. Sampai kapanpun.”
Kuserahkan surat yang telah kusiapkan semalam.
“Bacanya nanti kalau aku sudah berangkat.”
***
Kau tahu… pertama kali bertemu denganmu, dua tahun lalu, tak tahu apa yang kurasakan. Kau katakan cinta padaku, tapi aku belum mengerti apa itu cinta. Tapi kau memaksaku menjadi kekasihmu. Dan aku pun tak tega melihat matamu yang teduh itu terluka. Aku pun mengiyakannya.
Dua tahun adalah waktu yang cukup, lebih bahkan untuk mengetahui perasaanku kini. Jika kau tanya padaku saat ini, detik ini, akan kuucapkan dengan lantang: ‘aku mencintaimu sepenuh jiwa dan ragaku.’ Mungkin agak lama, tapi aku kini mengerti cinta karenamu, karena ucapanmu, tindakanku yang selalu mengejutkan diriku.
Terima kasih sayang, karena kau mengajarkanku cinta. Memang kini aku harus pergi, tapi aku kan kembali. Aku tak ingin membelenggumu dan memintamu menunggu selamanya. Tapi aku berharap kamu bersedia menungguku. Aku kan kembali. Hanya untukmu.
Your love,
Damian.
Word: 274
Tulisan pertama dari saya untuk Monday Flash Fiction