Kadang hidup adalah sebuah penantian. Semua menunggu, seakan banyak waktu. Termasuk aku, kamu, dan anak-anak. Semuanya.
Aku tahu, aku memang tidak sabaran. Kamu pun tahu, bahkan sebelum kita akhirnya menikah. Banyak yang menyebutmu wanita hebat karena mau bertahan mati-matian denganku. Tiga setengah dekade bukan waktu yang sebentar. Namun, waktu terkadang bisa sangat lucu. Menunggu bisa berarti membuang waktu. Saat yang tepat tak pernah benar-benar ada, kecuali bila kita (mau) mengusahakannya.
Ah, masih banyak sekali yang sebenarnya ingin kulakukan – hanya untukmu. Bahkan yang paling sederhana sekali pun, seperti mengungkapkan rasa sayang dan terima kasihku padamu…setiap hari. Ah, dasar ego laki-laki! Bahkan, kata ‘maaf’ pun tak lagi sempat terucap.
Apakah semuanya sudah terlambat?
Maaf, aku telah membuatmu takut setengah-mati malam itu. Entah apa yang telah membuatku tiba-tiba terjatuh dan tak bisa bangun lagi. Mungkin aku hanya (terlalu) lelah dan terlambat menyadarinya.
Sayang, perjuangan kita masih amat panjang. Ini memang berat bagi kita semua. Kamu, aku, dan anak-anak. Aku benci harus duduk di kursi roda. Aku benci merasa tak berdaya, harus belajar lagi, mengulang semua yang dulunya aku bisa. Ini tidak adil! Kenapa semua ini harus terjadi?
Seperti biasa, kamu tak henti memintaku untuk bersabar. Untung kamu tak pernah benar-benar sendiri dalam merawatku. Aku sangat tidak tega melihat kerutan-kerutan di wajahmu yang kian bertambah dalam waktu (terlalu) cepat. Seharusnya, kamu lebih banyak tersenyum hingga matamu bercahaya, seperti dulu. Seharusnya kita menghabiskan masa senja dengan lebih banyak tawa bahagia…
— // —
Hidup ini memang sebuah penantian. Kadang aku lelah dan bosan. Inginnya melakukan sesuatu ketimbang menunggu.
Seperti waktu itu…
Ah, hari apa sekarang? Rasanya aku telah kehilangan jejak waktu. Setiap hari tampak sama bagiku.
Lalu, kulihat kamu. Hai, Andhara. Ada yang pernah menuduhku terlalu memanjakanmu. Benarkah? Aku tidak tahu. Aku sudah lupa. Bila memang benar, aku sangat menyesal. Waktu itu, mungkin aku terlalu larut dalam kebahagiaanku sebagai seorang ayah…untuk pertama kalinya. Apa pun yang kau minta dulu kuberikan.
Tapi, dulu aku juga terlalu keras padamu. Tak hanya menjauhiku, kamu pun perlahan berubah sepertiku. Sadarkah kamu? Ara sayang, Papa tidak mau…
“Kamu jadi anak jangan cengeng!” Bocah cilik tampan itu menangis makin keras akibat bentakanmu pagi itu. Gandhi, cucuku yang baru empat tahun – putra sulungmu. “Kamu tahu, Mama paling benci punya anak yang cengeng!”
Napasku langsung sesak. Cairan hangat menggenang di mataku, sebelum mengalir di pipiku. Ingin aku menegur, tapi…ah, mana suaraku? Aku sudah lama tidak bisa bicara, sejak jatuh malam itu. Aku ingin sekali berteriak:
Hentikan, Ara! Kamu hanya akan membuatnya menjauhimu…
Maafkan Papa, sayang. Papa tidak bermaksud membentak-bentakmu waktu kau kecil dulu…
Dadaku makin sesak. Pandanganku mengabur. Samar-samar dua sosok lain menghampiriku. (Siapa? Darimana??)
“Papa!”
Kurasakan seseorang memasang sesuatu di mukaku, sebelum sekelilingku berubah gelap…
— // —
Akhir-akhir ini, hidupku hanyalah sebuah penantian – dan perjuangan berat – yang panjang. Entah berapa lama lagi sisa waktuku. Aku masih harus (bersabar) menunggu.
Begitu pula kamu, Andro. Tak hanya Mama, kamu juga selalu ada untukku. Terima kasih, nak. Papa amat bersyukur punya anak lelaki yang begitu membanggakan, dewasa, dan bertanggung-jawab. Kamu selalu bisa diandalkan. Maafkan Papa yang dulu tidak sempat langsung mengatakannya padamu. Ibumu telah membesarkanmu dengan baik. Lelaki sejati tidak banyak bicara maupun umbar janji. Lelaki sejati bertindak nyata untuk membahagiakan sesama, terutama orang-orang yang dia kasihi. Dia tidak akan mudah menyakiti siapa pun, terutama perempuan dan anak-anak. Ingat, mereka sosok-sosok lembut yang harus kau lindungi….
Lelaki sejati juga wajib menghormati dan menghargai perempuan. Jagalah selalu ibumu, nak. Mama akan sangat membutuhkanmu setelah semua ini. Entah berapa lama lagi Papa masih bisa berada di sini. Mereka sekarang sudah ada dimana-mana, menanti. Papa tidak bisa cerita. Belum saatnya kamu tahu semua.
Semoga, suatu saat nanti kamu bisa menjadi lelaki sekaligus imam yang jauh lebih baik dari ayahmu ini, nak. Terutama saat kamu akhirnya memiliki keluarga sendiri.
Ingatlah selalu, Andro. Selain Papa, hanya kamu yang berhak jadi imam di keluarga ini. Bukan yang lain…
— // —
Kita semua masih menunggu. Di rumah ini, meski tak lagi banyak waktu. Aku tahu ini masih sangat sulit bagimu, menunggu ke arah mana aku akan kembali. Aku bisa merasakannya dari gelisahmu. Selama ini kamu begitu tegar, berusaha menyembunyikan semuanya.
Di balik diammu, kamu banyak memendam sakit hati, Ariana. Dulu, kukira kamu hanya terlalu perasa. (Bahkan, aku pernah mengira kamu cengeng dan lemah.) Aku ingat, kamu selalu paling benci ketahuan menangis di depan umum, sehingga kamu lebih memilih mengurung diri dalam kamarmu setiap saat kamu khawatir air matamu akan tumpah. Kamu mengira bahwa dengan begitu, kamu bisa sekuat lelaki dan tidak lemah dan cengeng seperti macam perempuan yang kurang kusuka. Kamu mencoba membuatku bangga padamu.
Aku salah. Dulu aku hanya sulit mengerti. Kamu perasa dan itu membuatmu berbakat sebagai seniman. Mama sangat menyukai tulisan-tulisanmu. Aku juga.
Ah, kamu juga paling jarang meminta. Kamu lebih sering menunggu ditanya. Bahkan, seringkali aku baru tahu tentangmu setelah ibumu bercerita. Mungkin karena kamu merasa tidak ingin merepotkan siapa pun. Mungkin juga karena kamu sering merasa tersisih – sering luput dari perhatian dan sulit dimengerti. Banyak yang bilang bahwa anak tengah biasanya seperti itu.
Maafkan Papa, Ria. Mama selalu bilang kita sama-sama keras kepala dan pemarah. Tidak sabaran dan tidak ada yang mau mengalah. Kau cerminan masa laluku…dan aku takut. Tidak, kamu tidak boleh berakhir sepertiku – dianggap aneh dan sulit. Kamu harus lebih baik dari ayahmu, nak. Hanya itu yang Papa mau.
Sayang, waktu itu Papa terlalu emosi. Andai saja Papa bisa menarik kembali ucapan Papa…
“Kalo kamu aneh gitu, mana ada yang mau sama kamu?”
Entah apa yang kita ributkan waktu itu. Aku lupa. Yang kuingat hanya ekspresi terluka di wajahmu. Kamu terdiam memandangku tanpa berkedip, seakan baru kena tampar. Kamu bahkan tidak menangis sama sekali. Hanya sorot matamu yang begitu…. dingin. Dingin dan jauh.
Lalu, seperti robot, kamu hanya bangkit dari kursimu, berbalik, dan pergi dengan sikap kaku. Kamu tak mengatakan apa-apa lagi.
Sejak itu, kamu berhenti bercerita. Kita memang masih bicara, tapi semuanya terasa berbeda. Ada jarak, tembok samar yang kau bangun dengan sengaja agar aku enggan mendekat. Aku tak bisa lagi menyelami ‘dunia’-mu, karena kamu tak lagi mengizinkanku. Kamu takut aku akan menghakimimu seperti dulu.
Apakah sekarang semuanya sudah terlambat? Kata ibumu, ucapanku waktu itu telah begitu mempengaruhimu. Kamu jadi sulit percaya dengan lelaki, meski masih berteman baik dengan mereka. Kamu sulit percaya kalau mereka pun bisa benar-benar tertarik padamu lebih dari sekedar teman, karena khawatir mereka hanya akan menganggapmu aneh. Kamu takut akhirnya akan selalu sama: setiap lelaki yang (pernah) kamu cintai berakhir dengan yang lain.
Ibumu pernah bercerita beberapa minggu setelah aku tersadar di RS. Lelaki terakhir yang pernah kau cintai akhirnya lebih memilih sahabatmu. Keduanya sama-sama meminta maaf padamu. Kau bahkan tidak menangis saat memberitahu ibumu, seakan sudah pasrah dan terbiasa. Seolah kamu tidak merasa terluka.
Waktu itu, air mataku kembali tumpah. Ah, andai saja aku masih bisa bicara. Tak ada yang salah denganmu, nak. Lelaki itu memang bukan jodohmu, itu saja. Tuhan sangat sayang padamu dan akan memberikanmu yang istimewa. Kamu hanya masih diminta untuk sabar menunggu, karena Dia percaya kamu sekarang lebih sabar dari Papa dulu.
Jangan pedulikan omongan mereka, Ariana. Jangan juga terlalu percaya pada ocehan lelaki tua yang lupa berpikir sebelum berucap, karena manusia tak pernah luput dari salah. Sekali lagi maafkan Papa, sayang.
Aku sering melihat dan mendengar suaramu akhir-akhir ini, Ariana. Doa-doamu meringankan sakitku. Aku juga menyukai tulisan yang kau buat dan bacakan untukku. Terima kasih, sayang. Papa percaya, suatu saat – cita-citamu sebagai penulis akan tercapai. Kamu amat berbakat. Mungkin Papa tidak bisa melihatnya sekarang, tapi Papa merasakannya.
Papa doakan, suatu saat kamu akan bertemu lelaki yang benar-benar baik untukmu. Serahkan semuanya pada Tuhan, nak. Pasrah dan ikhlas….
Ya, kita memang sering bertemu dalam mimpi akhir-akhir ini. Hanya itu caraku berbicara dan meyakinkanmu. Jangan takut, kamu kuat. Kamu sudah membuktikannya. Papa yakin kamu akan baik-baik saja.
Jangan khawatir, menangis tidak selalu berarti kamu lemah dan cengeng. Hanya orang-orang sok kuat yang beranggapan demikian. Lihat, aku bahkan sering melakukannya akhir-akhir ini…
— // —
Hidup ini sebuah penantian. Kita semua menunggu, meski tak semua punya waktu.
“Sudah saatnya.”
Aku tahu, kalian semua masih setia menungguiku, meski entah ke arah mana aku akan kembali.
Jangan bersedih. Apa pun hasilnya, usaha dan penantian kalian tak pernah sia-sia. Berkat kalian, aku tahu bahwa kalian sangat menyayangiku.
Semoga kalian juga ingat kalau aku…juga…sayang…kalian…
— // —
“Papa!”
“Ikhlaskan, Ria. Papa sudah capek sekali. Kasihan.”
Wanita itu duduk di samping tempat tidur, menatap belahan jiwanya yang kini tampak lelap dan damai. Di sampingnya, gadis berambut ikal gelap berlutut di lantai, dengan wajah telungkup di kasur. Wanita itu membelai lembut punggung gadis itu yang gemetar, lalu menatap keluar kamar. Pintunya terbuka lebar.
Di luar, putra satu-satunya tengah menelepon. Dengan suara tercekat, pemuda itu mengabarkan satu berita duka.
Dan hari itu, sebuah penantian panjang berakhir sudah…
-selesai-
(Jakarta,16 – 18 November 2013)