Perayaan Tahun Baru 2017 akan terjadi dalam waktu dekat ini. Seperti biasa, ada yang memilih pergi clubbing bareng teman-teman segeng atau pacar mereka di tempat nongkrong paling happening di pusat kota. Ada yang akan menginap di hotel berbintang lima atau kelas backpacker, lalu berpesta sepanjang malam sampai puas…atau mabuk tapi juga puas.
Mungkin ada yang lebih memilih berpesta barbekyu di rumah keluarga atau teman. Ada yang mau nonton pertunjukan musik di taman kota atau jalan-jalan berombongan, lengkap dengan topi, terompet di tangan, dan keceriaan.
Pesta kembang api? Itu pasti, sepasti bertambahnya polusi. Belum lagi sampah yang akan menumpuk di jalanan nanti. Alasan mereka mungkin sama dan basi: ada pasukan oranye yang dibayar. Petugas kebersihan ya, bukan tukang sampah. Tukang sampah itu yang pakai alasan tadi, makanya mereka tetap ‘nyampah’ meski tahun berganti.
Bagaimana dengan Rena?
“Pulanglah. Kita harus bicara.”
Sekali lagi, dibacanya pesan WA itu. Mama. Perempuan pencinta damai yang sudah terlalu lelah dengan realita. Rena tidak bisa – dan tidak akan – menyalahkan beliau. Di usia senjanya, Mama hanya ingin menikmati masa tenang. Papa sudah tiada. Kakak perempuan Rena, Raisa, dan adik lelakinya, Rico, sudah menikah dan punya anak.
Lalu, apa yang salah? Harusnya tidak ada. Selama ini, dia sudah mencoba mengalah dan lebih banyak diam saja. Mama hanya ingin tenang, maka Rena berusaha tidak banyak ribut dan usil sama urusan orang lain.
Namun, sayangnya banyak yang yang mengartikan ‘keluarga’ sebagai hak untuk bisa mengatur hidupnya sesuka mereka. ‘Usia yang lebih tua’ jadi alasan mereka untuk asal berucap, tanpa peduli akan menyakiti perasaannya. Ya, perasaan Rena tidak pernah benar-benar penting, tidak peduli dia sudah dewasa dan bisa cari uang sendiri.
Di mata mereka, dia akan selalu jadi anak kecil tolol dan terlalu perasa, nggak bisa diajak bercanda (meski lelucon mereka kebanyakan seksis dan sampah, apalagi di chatroom grup keluarga), dan nggak bisa menerima kritikan. (Hah, untuk yang satu ini mereka juga sama saja.)
“Kamu kurusin, dong. Mau ‘kan, punya pacar?”
Haha, apakah mereka berharap Rena akan memilih lelaki berotak dangkal sebagai pendamping hidupnya nanti? Yang berpotensi selingkuh atau terus mengomel begitu Rena kembali ‘membengkak’ karena hamil dan melahirkan?
“Coba kamu kayak kakakmu gitu, siapa tahu bisa segera dapet suami.”
Ya, ya, ya, Raisa si Putri Sempurna. Rena sudah mendengarnya miliaran kali sejak masa remaja. Ibarat makanan paling eneg sedunia, rasanya dia ingin memuntahkannya berkali-kali saking muaknya.
“Kamu kok, gitu aja marah, sih? Kita ‘kan ngomong begini karena sayang!”
Sayang? Sayang kata mereka? Hahaha, sayang tapi pakai menghina!
“Cuma bercanda, Ren. Kamu kok, serius amat? Semua aja dianggep pelecehan!”
Perempuan-perempuan dalam keluarganya seringkali tidak sadar bahwa dengan mengomentari foto perempuan berbaju mini serta payudaranya sama saja setuju bahwa perempuan hanya bagus jadi objek pelecehan. Entah harus dengan apa lagi Rena memberitahu mereka. Mungkin salah satu sahabatnya, Putra, benar:
nggak semua orang mau mendidik diri sendiri. Edukasi itu ternyata juga pilihan pribadi.
“Elo biasa aja dong, jadi orang. Gak usah baper! Bikin suasana panas aja.”
Ah, Raisa si Putri Sempurna. Pujaan mereka semua, hanya karena dia kurus, dianggap cantik, menikah, dan punya anak…banyak. Selalu lebih disayang, didengarkan, dan dianggap penting. Nggak pernah ditertawakan dan dianggap aneh.
Yang selalu merendahkannya dengan sebutan aneh atau membentaknya bila kesal, seakan-akan Rena bodoh, tidak bisa mendengar, dan masih kecil seperti anak-anaknya sendiri. Yang sudah lama tidak pernah benar-benar peduli perasaannya.
Tapi, untuk apa sih, mendengarkan adik yang selalu dianggapnya aneh? Raisa sudah dianggap Putri Sempurna oleh banyak orang. Kalau tidak, kenapa mereka berharap Rena harus seperti Raisa?
Mereka lebih sayang kalau Rena diam saja dan tidak banyak bicara. Bahkan, kalau perlu dia tidak usah bicara apa-apa saja lagi. Perusak suasana. Baper.
Lalu mereka bingung saat Rena enggan lagi berbagi cerita. Untuk apa? Dia lebih banyak menulis dan curhat kepada dunia, dengan caranya sendiri. Diajak pulang atau ketemuan saja susah.
Halo, ke mana saja kalian? Rena ingin menyindir. Bukankah selama ini mereka selalu menyuruhnya diam dan terima saja?
“Elo hati-hati dong, kalo nulis apa-apa di internet! Kalo yang baca kesinggung gimana? Gak punya manner deh, lo! Kalo kesel ‘kan, bisa ngomong baik-baik!”
Pesan WA dari Raisa si Putri Sempurna. Hah, tumben dia mau mengirim sepanjang ini. Mereka sudah lama sekali tidak benar-benar bicara, sejak punya kesibukan masing-masing dan sejak Raisa menikah dengan Glenn, yang menurut Rena banyak lagak dan sama juga – hobi merendahkan Rena.
Memang, akhir-akhir ini terlalu banyak artikel online yang mengingatkan Rena akan memori buruk di masa lalu. Perempuan yang selalu dianggap cantik dan hanya gemuk pas hamil macam Raisa tidak akan pernah mengerti. Dia tidak pernah mengerti saat anggota keluarga sendiri menganggapmu jelek setengah mati, kecuali bila kamu kehilangan beberapa puluh kilogram lemak di tubuhmu.
Ah, sekalian saja Rena blak-blakan kali ini. Sudah terlalu lama dia diam dan dibungkam dengan hinaan macam ‘baper’ dan “anak aneh”.
“Karena gue bukan elo, yang selalu lebih dianggep sama orang, lebih ditanggepin serius, lebih didengerin dan nggak pernah dikatain baper. Karena gue bukan elo, yang selalu ngatain gue aneh dan baper tiap kali gue ngomong atau nggak setuju ama elo-elo pada. Gue kayak nggak berhak tersinggung atau punya perasaan sama sekali! Enak banget, mentang-mentang lebih tua trus bisa ngomong seenaknya, nggak peduli bikin sakit hati orang.
Ngomong ama lo semua? Haha, pada ke mane aje? Percuma. Paling kayak biasa, gue hanya bakalan dikatain aneh sama baper lagi, biar gue diem dan nggak merusak suasana!!”
Selesai mengirim pesan panjang itu, Rena sadar bahwa dia tengah terengah-engah. Lagi-lagi, amarah membuatnya lelah. Seharusnya dia sudah bisa menerima. Apa pun yang dilakukannya takkan pernah benar di mata mereka.
Tidak ada balasan. Entahlah. Terserah. Mungkin dia telah membuat Si Putri Sempurna menangis karena terluka. Mungkin Putri Sempurna akan mengadu pada Mama, seperti biasa. What else is new?
—***—
“Pulanglah, Rena. Kita semua berkumpul di sini. Mama hanya ingin melihat kamu. Kalau malam ini takut macet, besok saja pulangnya. Kalau perlu ongkos, bilang aja.”
Ah, kali ini pesan dari Mama lagi di WA-nya. Rena membacanya berkali-kali di ponselnya, menimbang-nimbang dengan resah. Di atas kepalanya, langit mulai beranjak senja.
Lalu apa, Ma?
Rena ingin membalas saat itu juga, namun malas. Selama ini, tidak pernah ada dialog. Mereka hanya memintanya agar tidak lagi bersikap seperti itu. Mungkin selama ini mereka semua sudah tahu sebabnya. Namun, pada akhirnya sama saja.
Layar teleponnya berkedip-kedip. Kali ini, Mama mencoba meneleponnya. Entah apa yang kali ini diadukan si Putri Sempurna. Di mata mereka, hanya Rena yang akan selalu dianggap salah, bermasalah, dan harus mengalah. Selalu aneh dan terlalu perasa, serta entah apa lagi hinaan lainnya. Naifkah bila dia berharap mereka akan berubah secepat orang berganti kalender di akhir tahun?
Di balkon tempat kamar sewanya berada, Rena menghela napas. Senja semakin larut, siap mengakhiri tahun 2016…
(Jakarta, 25 Desember 2016 – 9:00 – 22:35)