Hai, sayangku.
Aku tahu, pernikahan kita sudah tinggal menunggu waktu. Semua sudah siap. Restu keluarga kita sudah keluar. Kita tinggal melangkah ke pelaminan.
Lalu, apa masalahnya? Mengapa tiba-tiba aku ingin membatalkan semuanya dan menjauh darimu? Apa yang salah? Apa salahmu?
Saat ini aku masih terlalu emosi untuk berbicara langsung padamu. Walau bagaimana pun, kamu tetap laki-laki. Aku takut kamu tidak akan mau mengerti dan malah menghakimi.
Aku tahu, kamu sudah lama bersahabat dengan kedua laki-laki itu. Meski mereka masih bersikap ramah padaku, aku tidak tahan dengan kelakuan mereka, bahkan saat kamu ada.
Aku tidak suka cara mereka bersuit-suit nyaring memanggil perempuan yang kebetulan lewat sendirian di depan mereka dan mereka anggap cantik. Memang, sikapmu tampak biasa saja.
Apakah diam-diam kamu seperti itu saat bersama mereka dan aku sedang tidak ada? Pernahkah kamu berpikir bahwa bisa saja perempuan itu aku yang disiuli kedua sahabatmu seperti itu?
“Ah, mereka enggak akan begitu kok, kalo tahu itu kamu.” Mungkin juga kamu akan meninju mereka bila sampai berani, tapi hanya karena aku kekasihmu. Calon istrimu.
Bagaimana jika aku perempuan lain dan kita tidak saling kenal? Aku juga perempuan, sayang. Mengapa kamu harus mengenalku dulu untuk membelaku?
Oke, aku takkan mendiktemu mengenai dengan siapa kamu harus berteman. Aku harus adil, karena kamu juga tidak pernah melarangku bergaul dengan siapa pun. Tidak banyak laki-laki yang seperti itu.
Namun, ada satu hal lagi yang membuatku semakin ragu untuk menikahimu.
Ada kasus pemerkosaan yang beritanya tengah ramai di media nasional, baik cetak, elektronik, maupun digital. Tanpa sengaja, kulihat komentarmu di bawah tautan artikel tersebut:
“Makanya, jadi cewek kalo pake baju yang bener, biar gak jadi sasaran!”
Ah, sayangku. Tahukah apa akibat ucapanmu itu padaku? Apalagi saat kedua sahabatmu setuju dan menimpali dengan penuh semangat:
“Cewek kalo udah gak perawan pantesnya cuma jadi mainan. Gak bisa jaga diri sih, ampe udah jadi bekas orang. Hiiih!”
Setelah itu, aku langsung beranjak pergi. Kamu kaget dan langsung ingin mengikuti, namun aku semakin cepat berlari.
Saat itu aku tidak ingin melihatmu lagi. Mungkin aku tidak adil, namun kamu tidak sadar kamu telah sangat melukai hatiku.
Aku belum cerita padamu, karena ternyata yang kutakutkan benar-benar terjadi.
Ya, aku sudah tidak perawan lagi, sayangku. Waktu itu, umurku masih sembilan tahun. Kukira guruku baik…
Aku tidak pernah melaporkannya. Aku takut sekali. Dia mengancam tidak akan membuatku naik kelas. Lagipula, siapa yang akan mendengarkanku, anak kecil waktu itu? Mereka lebih percaya sama mulut orang dewasa, sebusuk apa pun hati mereka.
Jujur, aku enggan bertanya apakah kamu masih akan mau menikahiku setelah membaca ini. Justru malah aku yang jadi takut untuk menikahimu. Aku takut kamu akan menjadikan peristiwa sialan itu sebagai alasan – atau bahkan pembenaran – untuk selalu menyakitiku.
Jadi, apakah menurutmu aku ini murahan dan hanya bisa jadi mainan? Apakah bagimu perempuan sepertiku sudah tidak berharga dan bahkan tidak berhak untuk bahagia? Bukankah aku tidak pernah bertanya atau bahkan ingin mempermasalahkan masa lalumu?
Calon Istrimu
*Surat ini adalah contoh fiksi yang dapat terjadi pada siapa pun, bahkan perempuan yang sudah paling berhati-hati menjaga diri mereka.