Hai, tidak kusangka kau tiba-tiba menyapaku di media sosial. Sudah lama kita tidak berbincang-bincang. Kau sibuk di sana, begitu pula aku di sini.
“Kamu tahu, nggak?” tanyamu tiba-tiba dengan ceria. “Kita ternyata sudah berteman selama 12 tahun, lho. Nggak nyangka, ya?”
Iya juga, pikirku. Masih kuingat saat kita pertama bertemu dulu. Kita bertemu dalam salah satu situs komunitas untuk para mahasiswa di seluruh dunia.
Waktu itu, aku seorang blogger dan penulis lepas berusia 25 tahun yang masih mencari pekerjaan tetap di Jakarta. Kamu mahasiswa jurusan Akuntasi berusia 19 tahun di kawasan Asia Selatan, sekaligus musisi indie rock lokal dan tutor matematika.
Karena kamu pernah komentar di blog-ku waktu itu, kubalas dengan menaruh pesan di guestbook-mu. Benar katamu, tidak ada yang menyangka bahwa sejarah bisa bermulai dari situ.
Kita pun berlanjut dengan tukeran e-mail, messenger, hingga nomor telepon. Kita berbagi kisah, dua anak manusia yang berbeda latar belakang.
“Iya, nggak nyangka,” ujarku setuju. “Dan kita belum pernah sekali pun bertemu.”
“Ah, nanti juga akan ada saatnya.”
Ah, kamu memang selalu optimis. Terlalu banyak kenangan untuk kuceritakan di sini. Kita sudah pernah tertawa dan menangis bersama. Saat kamu bercerita tentang kucing sepupumu yang nakal dan saat kuceritakan tentang audisi menyanyiku yang gagal dengan memalukan.
Yang sedih juga banyak. Saat kau putus dengan pacarmu dan saat ayahku meninggal. Kita juga pernah ribut besar sampai saling mendiamkan cukup lama. Jujur, bagian itu aku paling tidak tahan. Tapi, kurasa ini lazim terjadi di setiap hubungan, entah itu dengan keluarga, sahabat, hingga pasangan.
“Aku terlalu sensitif waktu itu,” seolah membaca pikiranku, tiba-tiba kamu mengungkit masalah itu. “Maaf, ya.”
“Bukan masalah lagi soal siapa yang salah sekarang,” balasku seketika. “Yang kutahu, aku hanya nggak mau menyakitimu lagi.”
“Sama.”
Tahukah kamu, banyak hal baik yang selama ini kudoakan untukmu? Salah satunya adalah agar kamu segera menemukan perempuan terbaik untukmu. Ternyata terkabul. Aku sendiri belum seberuntung itu soal laki-laki dan memutuskan untuk enggan terlalu memikirkannya lagi. Namun kamu selalu meyakinkanku:
“Cukup fokus sama mimpi-mimpimu dulu. Kurasa, saat ini itulah yang bikin kamu paling bahagia.”
Ya, kurasa kamu benar. Kini, di usiaku yang ke-37, kamu berusia 32 pada 22 Januari ini. Dua sahabat yang belum pernah bertemu, hingga entah kapan nanti…
Banyak. Banyak sekali alasan yang membuatku bersyukur telah berkenalan denganmu. Bukan, bukan karena kamu yang membuatku semakin cinta dengan musik rock dan sastra. Bukan juga karena kamu yang pernah bernyanyi-nyanyi untukku lewat telepon, hanya untuk menghiburku yang sedang bersedih.
Padahal, bibirmu saat itu sedang robek gara-gara sebelumnya terjepret senar gitar Fender-mu sendiri.
Aku bersyukur, karena kita masih bisa saling memaafkan dan menerima kesalahan masing-masing. Karena kamu adalah bukti hidup bahwa sahabat sejati itu benar-benar ada. Semoga suatu saat nanti, kita bisa benar-benar bertemu di dunia nyata, meskipun hanya sekali.
Terima kasih, sahabatku. Selamat hari jadi ke-32.
(Jakarta, 21 November 2018 – 20:00 – 20:30)