“Ayolah, kita ‘kan juga mau menikah. Orang tuaku ingin kenalan sama mama kamu.”
Keringat dingin mulai terasa di kulitnya. Gadis itu tampak khawatir dan kesal pada saat yang sama. Dia menarik napas tajam sebelum merespons dengan panik:
“Nggak, lupain saja. Ide buruk.”
“Apa maksudmu?” Pemuda itu sekarang jengkel. “Ya ampun, dia ‘kan mama kamu sendiri.”
“Kamu nggak akan mengerti.”
“Kalau begitu, bantu aku untuk mengerti.”
“Kamu nggak bisa!” Dengan itu, gadis itu menangis dan kabur. Dia merasa lega bahwa pemuda itu tidak mengejarnya – menuntut jawaban.
Sepucuk Surat
Hai, sayang.
Maafkan aku waktu itu. Aku tahu, aku sudah jadi pengecut dengan hanya mengirimkanmu surat ini. Yang pasti, aku belum bisa ketemu kamu sekarang.
Aku juga menyesal telah lari meninggalkanmu waktu itu. Agak sulit membicarakan soal mamaku. Bukan… bukan karena dia telah tiada, dia masih hidup kok.
Lalu, mengapa aku dibesarkan Kakek dan Nenek? Ini rumit. Untuk membuatnya lebih mudah kamu pahami, sepertinya aku tak punya pilihan kecuali jujur.
Singkat cerita, aku hanya bertemu Mama tiga kali – atau setidaknya itulah yang kuingat. Ketika masih kecil, aku ingat berlari untuk memeluk kakinya, meminta digendong dan dipeluk. Alih-alih melakukan apa yang biasanya dilakukan semua ibu normal, Mama malah mendorongku.
Aku jatuh dan mulai menangis. Kakek dan Nenek bergegas menyelamatkanku. Nenek menggendong dan memelukku, sementara Kakek berteriak pada Mama:
“Kamu nggak perlu kayak gitu. Dia cuma anak kecil!”
“Dia anak monster!” Desis Mama. Kakek semakin marah. Aku menangis semakin keras, sementara Nenek memelukku lebih erat.
“Jaga mulutmu, nak!” Kakek membentak. “Dia juga anakmu.”
“Yah, aku nggak pernah minta!” Setelah itu, Mama berbalik dan berlari keluar rumah.
Yang kedua dan ketiga (dan mungkin yang terakhir, kurasa), aku menjauhi Mama. Aku takut. Aku bersembunyi di kamar tidurku setiap kali Mama muncul. Aku tidak mau Mama mendorong dan membentakku lagi.
Itu terakhir kali aku melihat Mama sebelum beliau meninggalkan kota ini. Mama bilang beliau bertemu seseorang yang menerima beliau apa adanya. Aku ingat Nenek menangis, memohon Mama untuk tinggal:
“Anak kamu butuh ibunya.”
“Mama-Papa yang ingin merawatnya,” kata Mama dengan dingin. “Nggak ada yang pernah nanya aku maunya apa. Laki-laki itu juga nggak peduli! “
Aku yakin kamu bertanya-tanya sekarang. Berhubung sudah setengah jalan, kulanjutkan saja, ya.
“Nenek, kenapa Mama benci banget sama aku?” Nenek menangis ketika aku pertama kali menanyakan hal itu. Beliau memelukku dan mencium keningku.
“Bukan salahmu, sayang,” beliau selalu beralasan. “Mama hanya lelah.”
Tentu saja, alasan itu hanya efektif sementara waktu. Ketika aku beranjak dewasa, mereka sadar mereka tidak bisa lagi menyembunyikan kebenaran pahit itu dariku. Pada akhirnya, entah bagaimana, aku pasti akan tahu. Aku harus tahu.
Sama seperti kamu yang harus tahu tentang orang tuaku.
Aku tidak pernah kenal Papa. Bahkan, aku tidak akan pernah sudi memanggilnya begitu, tidak setelah apa yang dia lakukan. Dia adalah alasannya, tidak peduli seberapa besar Mama mungkin membenciku – aku tidak pernah bisa marah pada Mama. Aku kasihan pada Mama. Begini, Mama tidak seberuntung aku sekarang. Aku bertemu denganmu, tetapi Mama bertemu … dia. Tidak butuh waktu lama bagi laki-laki itu untuk menghancurkan seluruh dunia Mama. Harapannya, mimpinya …
Sesungguhnya, Mama benar. Mama tidak pernah berencana untuk memilikiku. Bahkan jika Mama menginginkan yang sepertiku, seharusnya tidak seperti ini. Mama mungkin menyayangiku, jika aku tidak lahir melalui teror dan air matanya …
Mama mungkin menyayangiku jika aku lebih mirip beliau, bukan … laki-laki itu. Laki-laki yang selalu disebutnya ‘monster’.
Monster yang memperkosanya malam itu …
Itu sebabnya aku tidak pernah bisa marah pada Mama karena tidak ingin dekat-dekat denganku. Bukan salah Mama bahwa aku akan selalu menjadi pengingat mengerikan tentang yang pernah terjadi padanya.
Bukan salahku juga bahwa aku lebih mirip laki-laki itu. Maksudku, aku tidak pernah meminta wajah ini. Aku bisa apa? Paling tidak, aku hanya membiarkan Mama sendiri. Aku berutang pada Mama, karena beliau memutuskan untuk membiarkanku hidup – bahkan ketika hal itu sebenarnya pilihan orang tuanya, bukan keinginan Mama.
Nah. Sudah kuceritakan semuanya padamu. Berhubung laki-laki terakhir memilih untuk mengakhiri pertunangan kami karena kekhawatiran orang tuanya bahwa aku adalah ‘keturunan yang buruk’, lalu bagaimana denganmu? Apakah kamu akan meninggalkanku juga?
Aku nggak akan mengemis. Apa pun keputusanmu, aku harus siap.