Hari Raya, hari berkumpul sekeluarga. Makan-makan dan bercengkerama. Tukeran kabar dan foto bersama.
Ah, ya. Aku melihat mereka semua di sana, di dalam rumah besar yang sama. Sekilas tiada yang berubah.
“Andai Rama masih di sini.”
Hei, ada yang menyebut namaku. Siapa itu? Ah, ternyata Wina istriku. Masih cantik seperti dulu, meski kini tampak tua dan lelah.
Hai, sayang. Aku selalu di dekatmu, namun kau tak mungkin tahu.
“Ayo, foto-foto dulu!”
Aku tersenyum, meski bercampur sedih. Bukan, bukan karena tidak bisa ikutan lagi. Takdir telah memisahkan kita dalam beda dimensi.
Aku baru bisa melihat semuanya setelah menjadi roh ini. Tidak hanya istri yang lelah, namun juga anak-anak yang mulai saling ‘menjauh’ secara emosional.
Andhara yang tidak bahagia, meski masih berusaha tampil sempurna. Sudah lama aku tahu kekasaran suaminya. Ah, andai aku masih hidup dan segar-bugar. Biar kutempeleng laki-laki kurang ajar itu, yang berani menghina putriku sebagai istri dungu. Yang cukup pengecut untuk mengatai cucu laki-lakiku sebagai ‘banci’, hanya karena bocah itu menangis.
Aldo yang selalu berpacu dengan waktu, terutama sejak menikah. Ah, aku sudah tidak bisa hadir di sana. Ada yang bilang, kadang anaknya mirip aku saat tertawa.
Ariana…yang kini masih betah melajang. Dia pernah mengaku pada ibunya bahwa dia sebenarnya takut menikah. Dia takut mendapatkan suami yang sama kasarnya dengan si kakak ipar. Hingga kini mereka belum saling bicara. Padahal, aku tahu Ariana sangat menyayangi semua keponakannya.
Ah, masihkah dia percaya bahwa dia terlalu aneh untuk dicintai seorang laki-laki pun? Kuharap tidak. Kuharap kali ini gadis kecilku yang kreatif dan peka lebih berani membuka hatinya.
Semoga kali ini Ariana mau percaya, dia pun sangat layak untuk dicintai…
Terlepas dari semua masalah itu, kulihat mereka semua masih bisa tersenyum saat difoto bersama hari itu.
Layaknya keluarga bahagia…